Willibrordus Surendra Broto Rendra, atau yang akrab disapa WS Rendra, adalah salah satu pilar sastra Indonesia yang suaranya begitu lantang dan tak lekang dimakan waktu. Karya-karyanya, terutama yang terangkum dalam berbagai antologi puisi, bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan cerminan tajam kondisi sosial, politik, dan kemanusiaan di tanah air. Membaca antologi puisi Rendra adalah memasuki arena pertempuran gagasan, di mana keindahan bahasa berpadu dengan keberanian moral.
Antologi puisi Rendra seringkali menjadi jendela menuju gejolak batin sang penyair dalam menghadapi ketidakadilan. Dari periode awal yang masih dipengaruhi oleh lirisitas puitis, hingga fase pertengahan dan akhir yang semakin eksplisit dalam kritik sosial, Rendra menunjukkan evolusi luar biasa. Kumpulan karyanya memuat spektrum emosi yang luas—mulai dari romantisme mendalam dalam puisi cinta, hingga teriakan protes yang mengguncang nurani pembaca.
Setiap antologi yang diterbitkan Rendra memiliki ciri khasnya sendiri. Misalnya, karya-karya awal seringkali menampilkan tema-tema eksistensialisme dan pergulatan individu, seperti yang dapat ditemukan dalam semangat puisinya yang awal. Namun, seiring perkembangan situasi politik di Indonesia, antologinya bertransformasi menjadi medium perlawanan. Puisi-puisi yang lahir pada masa-masa penuh tekanan politik menjadi ikonik; mereka dicetak dalam benak publik sebagai "puisi protes" yang otentik.
Hal yang membuat antologi WS Rendra selalu relevan adalah kemampuannya untuk mengangkat isu universal melalui lensa lokal. Ia mahir menggunakan metafora dan simbol-simbol kebudayaan Jawa, namun pesan yang disampaikannya selalu menusuk inti persoalan kemanusiaan: penindasan, korupsi, hilangnya nurani, dan kegagalan kekuasaan. Pembaca modern, meskipun tidak mengalami langsung konteks historis tertentu, tetap dapat merasakan denyut nadi kemarahan dan kepedihan yang ia sampaikan.
Keunggulan Rendra tidak hanya terletak pada keberanian pesannya, tetapi juga pada penguasaan teknik berbahasa. Dalam antologi-antologinya, kita bisa menyaksikan bagaimana ia bermain dengan irama, diksi, dan struktur kalimat. Kadang ia menggunakan bahasa yang lugas dan hampir vulgar untuk menunjukkan kejijikan terhadap kemunafikan, di lain waktu ia membangun diksi yang megah dan dramatis yang mengingatkan pada tradisi teater. Gaya puitisnya yang teatrikal ini seringkali membuat puisinya terasa hidup, seolah sedang dipentaskan di hadapan pembaca.
Antologi puisi Rendra memaksa kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk rutinitas dan mempertanyakan apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Ia bukan penyair yang menawarkan pelarian, melainkan penyair yang menuntut keterlibatan. Dari "Balada Orang Binatang" hingga karya-karya yang lebih personal, warisan sastra Rendra dalam bentuk antologi tetap menjadi bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami denyut nadi bangsa melalui bahasa puitis yang penuh gairah.
Meskipun konteks sosial dan politik terus berubah, inti kritik Rendra—yaitu pentingnya menjaga integritas dan kemanusiaan—tetap relevan. Antologi puisinya menjadi catatan sejarah puitis sekaligus kompas moral. Setiap kali sebuah antologi Rendra dibaca ulang, selalu ada lapisan makna baru yang terbuka, menegaskan posisinya sebagai maestro kata yang suaranya, meski kini hanya tinggal gema, masih terlalu penting untuk diabaikan.