Frasa "Apaan nih?" sering kali muncul sebagai respons refleksif terhadap situasi yang membingungkan, tidak terduga, atau bahkan absurd. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa menjadi tanggapan terhadap teman yang tiba-tiba membuat lelucon garing, atau ketika kita menemukan notifikasi aneh di ponsel. Namun, di era digital yang serba cepat ini, "apaan nih" telah berevolusi menjadi sebuah respons budaya terhadap banjir informasi yang tak terkendali.
Coba renungkan sejenak. Setiap hari, kita dibombardir oleh jutaan data, tren baru di TikTok yang datang dan pergi dalam hitungan jam, serta berita utama yang kontradiktif. Otak kita dipaksa memproses informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika kita membuka media sosial dan melihat seseorang memposting sesuatu yang benar-benar di luar konteks normal—mungkin sebuah tantangan viral yang tidak masuk akal, atau sebuah 'teori konspirasi' yang baru—reaksi pertama yang muncul seringkali adalah kebingungan murni: "Apaan nih?"
Kelebihan informasi (information overload) adalah fenomena nyata. Meskipun kita memiliki akses ke pengetahuan seluruh dunia di ujung jari kita, kemampuan kita untuk menyaring, menganalisis, dan memahami semua itu sangat terbatas. Ketika algoritma terus mendorong konten yang semakin spesifik, terkadang kita disajikan dengan hasil yang tampak asing, bahkan setelah bertahun-tahun berinteraksi dengan platform tersebut. Misalnya, ketika algoritma tiba-tiba menyajikan video tutorial yang sangat spesifik tentang cara membuat kerajinan dari tutup botol bekas, padahal riwayat penelusuran Anda biasanya hanya tentang berita ekonomi. Reaksi kaget dan bertanya-tanya, "Apaan nih?" adalah sinyal bahwa otak kita sedang mencoba menyeimbangkan antara apa yang kita harapkan dan apa yang disajikan oleh sistem.
Dunia internet dipenuhi dengan siklus tren yang sangat cepat. Suatu hari semua orang berbicara tentang satu hal, dan keesokan harinya, topik itu sudah digantikan oleh sesuatu yang sama sekali berbeda. Bagi pengamat luar, atau bahkan bagi mereka yang sudah lama berada di ekosistem digital, siklus ini seringkali terasa aneh. Mengapa meme tertentu menjadi viral secara masif? Apa yang membuat sebuah lagu yang direkam di kamar tidur mendadak menjadi lagu latar di semua video pendek? Inilah momen ketika istilah "apaan nih" berfungsi sebagai semacam filter sosial; ini adalah cara kita mengakui bahwa kita tidak sepenuhnya mengerti, tetapi kita tetap berpartisipasi dalam kebingungan kolektif tersebut.
Fenomena ini juga mencakup bagaimana bahasa dan komunikasi berubah. Akronim baru bermunculan setiap minggu. Konteks yang dulunya memerlukan penjelasan panjang kini disimpulkan dalam tiga huruf. Ketika kita mencoba mengikuti percakapan antar generasi atau antar komunitas online yang berbeda, seringkali kita merasa tertinggal. Kalimat sederhana itu menjadi jembatan—jembatan kebingungan yang diakui secara jujur.
Secara psikologis, mengucapkan "apaan nih" menandakan adanya disonansi kognitif. Ada ketidaksesuaian antara skema mental yang kita miliki mengenai dunia (atau internet) dengan realitas yang baru saja kita saksikan. Dalam konteks yang lebih serius, frasa ini juga seringkali menjadi pintu gerbang untuk mempertanyakan otoritas atau informasi yang meragukan. Jika suatu klaim terlalu ekstrem atau tidak masuk akal, "apaan nih" adalah cara yang cepat dan informal untuk menyatakan keraguan mendalam tanpa harus melakukan analisis mendalam saat itu juga.
Ini adalah mekanisme pertahanan diri di dunia maya. Daripada tersesat dalam labirin data palsu atau narasi yang dibuat-buat, kita memilih untuk berhenti sejenak, mengangkat tangan secara virtual, dan bertanya pada diri sendiri (atau orang lain): "Apakah ini benar-benar terjadi?"
Pada akhirnya, mungkin kita perlu menerima bahwa di lanskap digital saat ini, ketidakjelasan adalah norma baru. Kita tidak dituntut untuk memahami setiap meme, setiap tren, atau setiap argumen yang muncul. Mengucapkan "apaan nih" tidak selalu berarti kita bodoh atau terbelakang; itu hanya berarti kita adalah manusia yang sedang berusaha menavigasi arus informasi yang hiperaktif dan seringkali tidak masuk akal. Daripada merasa tertekan untuk selalu tahu segalanya, kita bisa menggunakan keheranan ini sebagai alasan untuk istirahat sejenak, tertawa bersama atas absurditasnya, atau bahkan memutuskan untuk mengabaikannya sama sekali. Ini adalah cara kita menjaga kewarasan di tengah kebisingan digital. Jadi, lain kali Anda melihat sesuatu yang benar-benar aneh di internet, jangan ragu untuk bergumam: "Ya, apaan nih?"
Mengakui kebingungan adalah langkah pertama menuju pemahaman—atau setidaknya, langkah pertama menuju pemutusan sambungan dan menikmati kopi.