Mengupas Tuntas Asas Konkordansi: Struktur Hukum di Hindia Belanda

I. Pendahuluan: Defenisi dan Signifikansi Asas Konkordansi

Asas Konkordansi (Concordantie Beginsel) merupakan salah satu pilar fundamental yang menopang arsitektur hukum kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda. Prinsip ini, yang secara harfiah berarti 'kesesuaian' atau 'kecocokan,' menetapkan bahwa hukum yang berlaku di Hindia Belanda, terutama untuk golongan Eropa, harus sejalan, bahkan sedapat mungkin meniru, hukum yang berlaku di Kerajaan Belanda (Negeri Induk). Penerapannya menandai era penting dalam sejarah hukum Indonesia, yakni periode sejak sekitar tahun 1815 hingga berakhirnya kekuasaan kolonial.

Meskipun tampak sebagai upaya standarisasi administratif, asas ini jauh melampaui sekadar masalah teknis hukum. Ia adalah manifestasi ideologis dari dominasi kolonial, sebuah perangkat yang memastikan bahwa tatanan sosial, ekonomi, dan politik di koloni tidak jauh berbeda dari tatanan di Negeri Induk—setidaknya bagi kelompok elite penjajah. Konkordansi bukan hanya menyangkut peniruan isi undang-undang, tetapi juga menyangkut metodologi, struktur peradilan, dan filosofi dasar penegakan hukum.

Signifikansi historis asas konkordansi sangatlah besar. Tanpa memahami asas ini, mustahil untuk mengurai kompleksitas dualisme dan pluralisme hukum yang menjadi ciri khas Hindia Belanda. Ia adalah akar dari pemisahan yang ketat antara hukum untuk golongan Eropa (yang sepenuhnya berkiblat pada Belanda) dan hukum untuk golongan pribumi (yang mencakup hukum adat, meskipun terus-menerus ditekan dan direduksi). Dampaknya terasa hingga kini, terutama dalam fondasi kodifikasi hukum perdata dan pidana Indonesia yang modern, yang masih menunjukkan jejak-jejak kuat dari hukum Eropa kontinental (Belanda).

Tulisan ini akan mendalami latar belakang sejarah lahirnya asas konkordansi, landasan konstitusionalnya, mekanisme penerapannya, dampak masif yang ditimbulkannya terhadap masyarakat Hindia Belanda, serta kritik tajam yang dilontarkan oleh para ahli hukum dan pejuang kemerdekaan terhadap prinsip yang diskriminatif ini. Asas ini adalah studi kasus sempurna mengenai bagaimana hukum digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mempertahankan hierarki rasial dan ekonomi dalam sebuah sistem kolonial yang terstruktur.

II. Latar Belakang Sejarah dan Kebutuhan Harmonisasi

A. Kondisi Hukum Pra-Konkordansi (Era VOC)

Sebelum abad ke-19, sistem hukum di Nusantara di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sangatlah kacau dan tidak terstruktur. Hukum diterapkan secara kasuistik dan sangat bergantung pada yurisdiksi lokal serta kebutuhan komersial VOC. Ada beberapa upaya kodifikasi, seperti Statuta Batavia, namun penerapannya terbatas pada pusat-pusat perdagangan dan hanya berlaku bagi orang-orang VOC. Di luar itu, hukum adat (Adatrecht) tetap dominan bagi penduduk pribumi.

Kekacauan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum (rechtszekerheid), terutama setelah VOC bangkrut dan wilayahnya diambil alih oleh pemerintah Belanda pada tahun 1800. Periode transisi awal ini, yang melibatkan pengaruh Perancis (di bawah Herman Willem Daendels) dan Inggris (di bawah Thomas Stamford Raffles), memperkenalkan konsep hukum modern dari Eropa, termasuk ide kodifikasi yang sistematis. Namun, ketika Belanda mengambil kendali penuh kembali setelah Kongres Wina 1815, muncullah kebutuhan mendesak untuk menata ulang administrasi dan hukum koloni secara menyeluruh. Pengalaman buruk VOC yang terlalu fokus pada aspek komersial tanpa struktur pemerintahan yang solid menjadi pelajaran penting.

B. Spirit Restorasi dan Kodifikasi Eropa

Abad ke-19 adalah periode emas kodifikasi di Eropa. Setelah era Napoleon, banyak negara Eropa merasa perlu untuk menyatukan dan mendokumentasikan hukum mereka dalam kitab undang-undang yang jelas dan tertulis (seperti Code Civil Perancis). Belanda, yang juga sedang melakukan restorasi monarki dan kodifikasi nasional, melihat koloni sebagai perpanjangan dari kedaulatan mereka. Logika yang dianut adalah: jika Belanda memiliki sistem hukum yang modern, maka koloni mereka—sebagai bagian integral dari kerajaan—juga harus memilikinya.

Inilah konteks utama lahirnya asas konkordansi. Tujuan awalnya adalah: 1) Menyediakan kepastian hukum bagi para pendatang Eropa, agar mereka merasa seperti berada di negeri sendiri; 2) Memudahkan administrasi kolonial yang dilakukan oleh birokrat Belanda; dan 3) Menegaskan bahwa Hindia Belanda bukan sekadar wilayah taklukan, tetapi bagian dari Kerajaan Belanda yang tunduk pada hukum kerajaan.

C. Dasar Yuridis Awal Konkordansi

Asas ini pertama kali diresmikan melalui ketentuan dalam Regerings Reglement (RR), sebuah semacam konstitusi bagi Hindia Belanda. RR tahun 1854, yang kemudian diperbarui secara signifikan pada tahun 1925 (menjadi Indische Staatsregeling), menjadi landasan utama. Pasal yang paling krusial dan sering dikutip adalah Pasal 109 RR 1854 (kemudian diadaptasi pada revisi-revisi berikutnya) yang secara eksplisit menyatakan bahwa:

“Hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku bagi bangsa Eropa haruslah sedapat mungkin didasarkan pada ketentuan yang berlaku di Negeri Belanda.”
Frasa kunci di sini adalah “sedapat mungkin” (zooveel mogelijk), yang memberikan celah fleksibilitas namun sekaligus menegaskan preferensi hierarkis terhadap hukum Belanda. Implementasi ini berarti bahwa setiap kali Belanda mengesahkan Kitab Undang-Undang baru (seperti BW/KUHPerdata dan WvS/KUHP), pemerintah kolonial harus segera mengadaptasi dan memberlakukannya di Hindia Belanda, seringkali hanya dengan sedikit penyesuaian untuk kondisi lokal.

Ilustrasi Asas Konkordansi Hukum Belanda (Negeri Induk) Hukum Hindia Belanda Konkordansi

Gambar 1: Mekanisme Konkordansi sebagai Upaya Penyatuan (Peniruan) Sistem Hukum.

III. Mekanisme Operasionalisasi Asas Konkordansi

A. Kedudukan Hukum Konkordansi

Penerapan asas konkordansi harus dipahami dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan kolonial. Di puncak hierarki terdapat Wet (Undang-Undang Kerajaan) dari Negeri Belanda, dan di bawahnya terdapat Regerings Reglement (RR). Konkordansi diwujudkan melalui dua instrumen utama: Wetboek (Kitab Undang-Undang) yang diimpor langsung, dan Verordening (Ordonansi) yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal bersama Dewan Hindia (Raad van Indië).

Kitab-kitab Undang-Undang, seperti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), adalah contoh paling murni dari konkordansi. Hukum perdata dan dagang Belanda diadaptasi hampir secara verbatim (dengan penyesuaian kecil) dan diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1848, beberapa tahun setelah BW Belanda berlaku. Proses ini bukan sekadar terjemahan; ia adalah penempatan seluruh sistem hukum perdata dan dagang Eropa ke tanah koloni, lengkap dengan doktrin, jurisprudensi, dan lembaga-lembaga hukumnya.

Namun, konkordansi tidak bersifat mutlak. Frasa “sedapat mungkin” (zooveel mogelijk) menjadi katup pengaman. Pemerintah kolonial berhak, dan terkadang terpaksa, melakukan penyimpangan ketika hukum Belanda sama sekali tidak sesuai dengan realitas sosial, geografis, atau demografis di Hindia Belanda. Misalnya, dalam hukum agraria, di mana konsep kepemilikan tanah adat (beschikkingsrecht) sangat berbeda dari konsep kepemilikan mutlak Eropa, peniruan hukum Belanda tidak dapat dilakukan sepenuhnya, yang melahirkan dualisme dalam hukum tanah.

B. Konkordansi dalam Hukum Pidana (WvS)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, WvS), yang diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1918 (menggantikan kodifikasi pidana sebelumnya), merupakan contoh lain dari konkordansi yang kuat. WvS Hindia Belanda secara substansial meniru WvS Negeri Belanda tahun 1881. Tujuannya adalah memastikan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun di koloni akan diperlakukan dengan standar dan definisi yang sama seperti di Belanda, yang lagi-lagi memastikan kepastian bagi para pemukim Eropa.

Meskipun demikian, terdapat modifikasi penting. WvS Hindia Belanda mengandung sejumlah pasal-pasal khusus yang dirancang untuk menjaga ketertiban kolonial dan menangani karakteristik unik masyarakat majemuk, termasuk ketentuan-ketentuan terkait penghinaan terhadap penguasa, hukuman yang lebih berat untuk tindakan subversif, atau pasal-pasal yang menyangkut kedudukan rasial tertentu. Inilah yang oleh para kritikus disebut sebagai ‘konkordansi yang dimanipulasi’—di mana prinsip kesesuaian dipertahankan, kecuali jika ia mengganggu kepentingan hegemonik kolonial.

C. Prinsip Hukum Perdata (BW) dan Diskriminasi Rasial

Aspek konkordansi yang paling menentukan adalah pembagian subjek hukum berdasarkan ras. Ketika BW diberlakukan pada tahun 1848, ia tidak berlaku untuk semua orang. BW, yang diimpor dari Belanda, hanya berlaku secara penuh bagi:

  1. Golongan Eropa: Termasuk warga Belanda, serta penduduk lain yang secara hukum disamakan dengan Eropa (misalnya, Jepang).
  2. Golongan Tionghoa dan Timur Asing tertentu: Sejak akhir abad ke-19, kelompok ini secara bertahap dimasukkan ke dalam subjek hukum perdata Eropa, terutama dalam hukum dagang dan sebagian hukum perdata, sebagai respons terhadap kebutuhan ekonomi kolonial dan status mereka sebagai pedagang utama.
Sementara itu, mayoritas penduduk, yakni Golongan Pribumi (Inlanders), tetap tunduk pada hukum adat mereka (Adatrecht). Ini menciptakan sistem dualisme hukum yang akut dan terinstitusionalisasi, di mana hak-hak sipil, kepemilikan, pernikahan, dan waris tergantung pada ras subjek hukum.

Penting untuk dicatat bahwa asas konkordansi ini secara otomatis membawa serta seluruh sistem hukum Eropa, termasuk asas-asas yang progresif (seperti kesetaraan di hadapan hukum bagi Golongan Eropa) dan lembaga-lembaga yang modern (seperti badan hukum perseroan terbatas, hak cipta, dan kepailitan). Namun, ia menolak akses mayoritas penduduk pribumi terhadap modernisasi hukum ini, yang semakin memperlebar jurang sosial ekonomi.

D. Pengaruh pada Struktur Peradilan

Konkordansi tidak hanya mempengaruhi hukum materiel, tetapi juga hukum acara dan struktur peradilan. Pengadilan dibentuk berdasarkan garis rasial, mencerminkan pemisahan hukum. Lembaga peradilan Eropa, seperti Raad van Justitie (Dewan Pengadilan), menerapkan hukum konkordan (BW, WvS, WvK) secara ketat dan menggunakan proses peradilan yang diimpor dari Belanda. Sebaliknya, Landraad (Pengadilan Negeri) yang dikhususkan bagi pribumi, menerapkan hukum adat dan ordonansi kolonial yang spesifik, seringkali dengan prosedur yang lebih sederhana dan kurang formalistik.

Hierarki peradilan ini menjamin bahwa sengketa yang melibatkan kepentingan kolonial atau subjek Eropa akan selalu ditangani oleh pengadilan yang menerapkan hukum Eropa, yang berarti interpretasi dan hasil akhir sengketa selalu cenderung mendukung kepentingan kolonial. Konkordansi menuntut tidak hanya kesamaan isi hukum, tetapi juga kesamaan cara penafsiran hukum (Rechtsvinding) oleh hakim, yang dilatih di Belanda atau dengan kurikulum hukum Belanda.

Secara keseluruhan, mekanisme operasionalisasi konkordansi adalah sebuah sistem peniruan hukum yang selektif. Ia memastikan kepastian hukum bagi segelintir orang sambil secara struktural menafikan hak mayoritas, menjadikannya fondasi utama dari negara hukum kolonial yang paternalistik dan diskriminatif.

IV. Analisis Profundus Terhadap Konsekuensi dan Dualisme Hukum

A. Pembentukan Pluralisme Hukum yang Diskriminatif

Sistem hukum Hindia Belanda bukanlah dualisme sederhana antara hukum Belanda dan hukum Adat. Asas konkordansi menghasilkan sistem pluralisme yang sangat rumit, dibagi berdasarkan Pasal 131 RR 1854 yang memisahkan penduduk menjadi tiga golongan utama: Eropa, Pribumi (Inlanders), dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Masing-masing golongan memiliki aturan hukum perdata, hukum perkawinan, dan hukum waris yang berbeda-beda. Hukum Timur Asing, misalnya, sering kali merupakan campuran antara hukum konkordan dan hukum agama/tradisi mereka sendiri.

Dualisme ini dipertahankan secara ketat. Seorang Pribumi yang menjadi kaya atau berpendidikan tinggi tidak serta merta dapat menggunakan BW kecuali melalui proses ‘penundukan diri’ (onderwerping), yang merupakan tindakan sukarela untuk tunduk pada seluruh atau sebagian hukum Eropa. Proses ini rumit dan mensyaratkan persetujuan otoritas kolonial. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak didasarkan pada kebutuhan atau fungsi sosial, tetapi semata-mata pada pengkategorian rasial yang kaku.

Para ahli hukum Belanda, seperti C. van Vollenhoven, yang merupakan pelopor studi hukum adat (Adatrecht), menentang totalitas konkordansi. Mereka berargumen bahwa hukum adat memiliki sistemnya sendiri yang valid dan mengakar, dan upaya memaksakan BW sepenuhnya akan menghancurkan tatanan sosial pribumi. Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan para indolog lainnya, hukum adat diakui (meskipun dalam status yang inferior), yang mencegah penerapan konkordansi secara total terhadap semua golongan. Namun, pengakuan ini seringkali bersifat ‘pemeliharaan’ daripada ‘penghargaan’, di mana hukum adat dipertahankan selama tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial atau ‘ketertiban umum’ Eropa.

B. Dampak Ekonomi: Kepastian untuk Kapitalisme Kolonial

Salah satu tujuan paling mendasar dari asas konkordansi adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan perdagangan Eropa. Dengan memberlakukan BW dan WvK, Hindia Belanda memiliki seperangkat aturan yang dapat dikenali dan dipercaya oleh pedagang, bankir, dan perusahaan Belanda. Konsep-konsep seperti perjanjian, jaminan, hipotek, dan kepailitan, yang merupakan tulang punggung kapitalisme modern, diimpor langsung dan diterapkan secara konsisten. Ini menjamin rechtszekerheid (kepastian hukum) bagi modal asing.

Sebagai contoh, hukum dagang (WvK) memungkinkan pembentukan badan usaha modern seperti N.V. (Perseroan Terbatas) yang penting untuk perkebunan besar dan industri ekstraktif. BW mengatur hak milik pribadi secara absolut ala Eropa, yang mendukung perampasan tanah melalui mekanisme hukum, meskipun tanah tersebut sebelumnya diatur oleh hukum adat komunal. Dengan demikian, konkordansi berfungsi sebagai mesin legal yang memfasilitasi eksploitasi sumber daya alam secara terstruktur dan legalistik.

Sebaliknya, penduduk pribumi, yang tunduk pada hukum adat, sering kali terpinggirkan dari sistem ekonomi formal ini. Hukum adat mereka, yang berorientasi pada komunal dan kekerabatan, tidak siap menghadapi kompleksitas transaksi kapitalis skala besar. Ketika pribumi berinteraksi dengan orang Eropa (misalnya dalam utang atau sewa menyewa), sering kali mereka harus tunduk pada hukum Eropa melalui perjanjian, yang sering kali menempatkan mereka pada posisi yang sangat lemah karena kurangnya pemahaman doktrin hukum Eropa.

C. Konflik Doktrinal: Hukum Positif vs. Hukum Adat

Konkordansi memaksakan doktrin positivisme hukum Eropa, di mana hukum adalah apa yang tertulis dalam kodifikasi (lex scripta). Filosofi ini sangat bertentangan dengan hukum adat, yang bersifat tidak tertulis, fleksibel, berorientasi pada musyawarah, dan sering kali didasarkan pada sanksi sosial daripada sanksi pidana formal. Kontradiksi ini menyebabkan kesulitan besar bagi hakim di pengadilan pribumi (Landraad).

Untuk menjembatani jurang ini, dikembangkanlah doktrin Rechtsvinding (Penemuan Hukum). Hakim Landraad diharuskan untuk menemukan dan menerapkan hukum adat, namun harus tetap dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Ini sering kali berarti bahwa hakim kolonial memilih hukum adat mana yang ‘dapat diterima’ dan mana yang harus ditinggalkan karena dianggap ‘tidak beradab’ (misalnya praktik perbudakan atau hukuman fisik tertentu). Penemuan hukum adat oleh hakim kolonial, yang sering kali didasarkan pada laporan etnografi, seringkali bias dan mereduksi kompleksitas hukum adat menjadi sekumpulan aturan sederhana yang mudah diatur oleh birokrasi kolonial.

Ketegangan antara hukum yang diimpor (konkordan) dan hukum yang tumbuh di tempat (adat) menghasilkan kondisi di mana sebagian besar birokrat kolonial tidak memahami atau menghargai hukum pribumi, yang memperkuat keyakinan mereka bahwa hukum Eropa adalah standar universal yang harus ditiru “sedapat mungkin.” Konkordansi pada dasarnya adalah proyek untuk membatasi dan, jika mungkin, pada akhirnya menghilangkan pluralisme hukum yang dianggap sebagai penghalang modernisasi ala Barat.

D. Studi Kasus: Dualisme Hukum Perkawinan dan Waris

Dalam bidang hukum keluarga dan waris, konkordansi menunjukkan diskriminasi paling jelas. Hukum perdata Eropa mengatur perkawinan secara monogami dan menerapkan sistem waris berdasarkan testamen atau garis keturunan yang kaku (BW). Sementara itu, hukum adat, yang sangat bervariasi di seluruh Nusantara, dapat mengakui poligami, dan sistem warisnya sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan (patrilineal, matrilineal, atau parental).

Jika dua orang Eropa bercerai, mereka tunduk pada BW, prosesnya jelas, dan hasilnya didasarkan pada undang-undang. Namun, jika terjadi sengketa waris antara Pribumi, pengadilan harus menggunakan hukum adat setempat, yang seringkali membutuhkan penyelidikan mendalam tentang kebiasaan dan tradisi lokal. Meskipun ini tampak seperti perlindungan terhadap budaya, kenyataannya, ini adalah penolakan legalistik untuk memberikan hak-hak perdata modern kepada penduduk pribumi, termasuk hak-hak yang lebih jelas dan terstruktur mengenai kepemilikan aset yang semakin penting dalam masyarakat yang mulai terindustrialisasi.

Bahkan dalam kasus perkawinan campuran (misalnya antara seorang Eropa dan Pribumi), hukum yang berlaku menjadi sangat kompleks, seringkali ditentukan oleh di mana perkawinan itu didaftarkan dan apakah pihak pribumi telah melakukan penundukan diri. Kerumitan ini secara efektif menciptakan ketidaksetaraan sistemik, di mana akses terhadap keadilan dan kepastian hukum sangat bergantung pada posisi rasial yang telah ditetapkan sejak lahir oleh otoritas kolonial.

V. Kritik, Reaksi, dan Upaya Penyesuaian Terhadap Konkordansi

A. Kritik dari Kaum Nasionalis dan Ahli Hukum Pribumi

Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kesadaran nasionalis, asas konkordansi menjadi sasaran kritik utama. Kritik ini tidak hanya datang dari sisi politik, tetapi juga dari intelektual dan ahli hukum pribumi yang mulai muncul pada awal abad ke-20. Mereka menyoroti bahwa konkordansi adalah alat dominasi yang memastikan superioritas budaya dan hukum Belanda, serta secara terang-terangan melanggengkan diskriminasi rasial.

Salah satu kritik paling fundamental adalah bahwa konkordansi mengabaikan prinsip kedaulatan hukum. Para nasionalis berpendapat bahwa hukum suatu bangsa haruslah berakar pada kebudayaan dan kebutuhan rakyatnya sendiri. Hukum yang diimpor melalui konkordansi adalah hukum asing yang dipaksakan, yang tidak mencerminkan jiwa (volksgeist) bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Soepomo, yang kemudian menjadi perumus UUD 1945, sangat fokus pada pentingnya hukum adat sebagai dasar dari hukum nasional Indonesia di masa depan. Mereka melihat konkordansi sebagai penghalang utama menuju pembangunan hukum nasional yang mandiri.

Kritik lain adalah masalah efisiensi. Birokrasi kolonial seringkali lambat dalam mengadaptasi perubahan hukum dari Belanda. Ketika Belanda memperbarui kodifikasi mereka, proses 'konkordansi' di Hindia Belanda membutuhkan waktu bertahun-tahun, melibatkan persetujuan dari Den Haag dan adaptasi oleh Gubernur Jenderal, yang menyebabkan ketidaksesuaian temporal. Lebih lanjut, penggunaan bahasa Belanda dalam semua proses hukum formal Eropa juga menjadi barrier masif bagi partisipasi pribumi dalam sistem hukum modern.

B. Penyesuaian di Era Politik Etis

Pada awal abad ke-20, di bawah naungan Politik Etis, pemerintah kolonial mengakui bahwa penerapan konkordansi secara kaku telah menciptakan ketidakpuasan yang besar. Terjadi beberapa upaya penyesuaian, terutama melalui konsep passen en meten (menyesuaikan dan mengukur). Ini berarti hukum Belanda tidak lagi ditiru secara membabi buta, tetapi dipertimbangkan dan disesuaikan agar 'pas' dengan kondisi lokal. Namun, konsep penyesuaian ini sering kali tetap berada dalam kerangka berpikir Eropa sentris.

Salah satu penyesuaian paling terkenal terjadi dalam Hukum Perkawinan Pribumi (yang diatur dalam beberapa ordonansi, bukan BW), di mana otoritas kolonial berusaha menyatukan hukum perkawinan agama (Islam) dengan kebutuhan pencatatan sipil. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan populasi dan memperjelas status hukum keturunan, namun pelaksanaannya sering menimbulkan konflik dengan tradisi lokal dan otoritas agama.

Selain itu, munculnya lembaga-lembaga konsultatif seperti Volksraad (Dewan Rakyat) memungkinkan adanya sedikit representasi pribumi dalam proses legislasi. Meskipun Volksraad memiliki kekuasaan terbatas, ia menjadi wadah bagi para politisi pribumi untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap asas konkordansi dan mendesak reformasi hukum yang lebih inklusif dan berorientasi pada kepentingan pribumi.

C. Konflik Antar Golongan dalam Implementasi Hukum Perdata

Ketegangan konkordansi tidak hanya terjadi antara pemerintah dan pribumi, tetapi juga antara golongan Eropa dan Timur Asing. Ketika Golongan Tionghoa dan beberapa Timur Asing lainnya disamakan dengan Eropa dalam hal hukum perdata dan dagang (sekitar 1917), tujuannya adalah memfasilitasi perdagangan. Namun, hal ini seringkali menciptakan anomali, di mana aspek-aspek tradisional dari hukum keluarga mereka tetap diakui (misalnya waris adat Tionghoa) sementara aspek-aspek lain tunduk pada BW.

Pengkategorian yang rumit ini menunjukkan bahwa konkordansi bukanlah sistem yang logis atau manusiawi, melainkan konstruksi politis yang didorong oleh kebutuhan ekonomi untuk menggolongkan subjek hukum berdasarkan peran mereka dalam ekonomi kolonial. Golongan yang dianggap penting bagi perdagangan harus memiliki hukum yang menjamin transaksi mereka, yaitu BW, sedangkan mayoritas penduduk yang dianggap hanya sebagai sumber tenaga kerja dan tanah tetap diatur oleh sistem hukum yang inferior dan tidak terstandardisasi.

Ketidakselarasan ini diperburuk oleh praktik Intergentiel Recht (Hukum Antar Golongan), yaitu aturan yang mengatur bagaimana sengketa diselesaikan jika melibatkan dua golongan yang berbeda (misalnya sengketa perdata antara seorang Eropa dan seorang Pribumi). Umumnya, dalam sengketa antar golongan, hukum Eropa-lah yang sering diterapkan, yang secara efektif meniadakan keberlakuan hukum adat bagi pihak pribumi dalam kasus-kasus penting.

VI. Berakhirnya Konkordansi dan Warisannya Bagi Hukum Indonesia Modern

A. Disrupsi Masa Pendudukan dan Proklamasi Kemerdekaan

Asas konkordansi secara efektif berakhir dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Meskipun demikian, disrupsi utama terhadap sistem hukum kolonial sudah dimulai sejak pendudukan Jepang (1942–1945). Jepang, melalui peraturan militer mereka, mempertahankan sebagian besar struktur hukum kolonial karena alasan pragmatis, tetapi menghilangkan supremasi hukum Belanda dan menghapus istilah ‘Hindia Belanda’. Hal ini menciptakan kekosongan politik hukum yang signifikan.

Setelah proklamasi, landasan hukum Indonesia diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menjadi kunci dalam transisi ini:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Pasal ini memberikan legitimasi sementara bagi seluruh kodifikasi kolonial (BW, WvS, WvK, dan sistem peradilan dualistik) untuk tetap berlaku. Keputusan ini diambil atas dasar pragmatisme; tanpa adanya kodifikasi hukum nasional yang baru, mencabut semua peraturan lama secara total akan menyebabkan anarki hukum (rechtsvacuum).

Oleh karena itu, meskipun asas konkordansi sebagai prinsip yang mewajibkan peniruan hukum Belanda telah dihapus, warisannya tetap hidup dalam bentuk kodifikasi materiil yang masih digunakan. KUHPerdata, KUH Pidana, dan KUH Dagang yang kita kenal hingga kini, meskipun telah diterjemahkan dan diindonesiakan, pada dasarnya adalah produk langsung dari asas konkordansi tahun 1848 dan 1918.

B. Upaya Dekonstruksi dan Unifikasi Hukum Nasional

Sejak kemerdekaan, tantangan terbesar Indonesia adalah menyatukan (unifikasi) dan mendekomposisi (dekolonisasi) warisan hukum konkordan ini. Para pendiri bangsa menyadari bahwa sistem hukum yang terpisah berdasarkan ras tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan prinsip kesatuan nasional.

Unifikasi Hukum Pidana: Proses dekonkordansi yang paling sukses terlihat dalam bidang hukum pidana. Meskipun Indonesia menggunakan WvS kolonial sebagai dasar KUHP 1946, upaya penyusunan KUHP Nasional telah berjalan selama puluhan tahun dengan tujuan menghilangkan pasal-pasal kolonial yang diskriminatif dan memasukkan nilai-nilai hukum nasional (seperti hukum adat sebagai faktor mitigasi). KUHP baru yang disahkan mencerminkan keinginan untuk melepaskan diri dari positivisme absolut yang dibawa oleh konkordansi.

Unifikasi Hukum Perdata: Upaya untuk mengganti Burgerlijk Wetboek (BW) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional berjalan jauh lebih lambat dan masih belum tuntas sepenuhnya. BW kolonial masih berlaku sebagai hukum positif dalam banyak aspek kontrak, jaminan, dan waris, karena kompleksitas materi dan resistensi dari sektor ekonomi yang sudah terbiasa dengan kepastian hukum BW. Hukum Tanah (melalui UU Pokok Agraria 1960) adalah contoh sukses dekonkordansi, di mana hukum adat dijadikan landasan utama, sekaligus menghapus seluruh dualisme hukum tanah kolonial yang dipaksakan oleh konkordansi.

C. Konkordansi sebagai Pelajaran Historis

Konkordansi mengajarkan beberapa pelajaran penting bagi pembangunan hukum di Indonesia:

  1. Hukum sebagai Alat Kekuasaan: Ia membuktikan bagaimana hukum dapat digunakan sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan politik dan struktur rasial, meskipun dikemas dalam istilah modernisasi dan kepastian hukum.
  2. Pentingnya Hukum yang Berakar: Kegagalan total konkordansi adalah ketidakmampuannya menghilangkan hukum adat. Ini menunjukkan bahwa hukum yang efektif harus berakar pada norma dan nilai masyarakat setempat.
  3. Tantangan Warisan Positif: Meskipun diskriminatif, konkordansi memperkenalkan kodifikasi dan sistematisasi yang rapi, yang menjadi modal penting bagi Indonesia untuk membangun sistem hukum modern yang terorganisir. Tantangannya adalah mengambil manfaat dari struktur tersebut sambil membuang filosofi diskriminatifnya.

Pada akhirnya, asas konkordansi adalah kisah tentang bagaimana kolonialisme mencoba memaksakan identitas hukumnya pada sebuah bangsa yang majemuk. Meskipun fondasi-fondasi konkordansi telah bergeser dan berusaha diganti, pemahaman mendalam terhadap prinsip ini tetap esensial untuk mengidentifikasi mengapa struktur hukum Indonesia modern kadang-kadang menunjukkan kontradiksi antara kebutuhan lokal dan bentuk-bentuk hukum yang diimpor dari Barat.

Konkordansi, dengan segala implikasinya, adalah cetak biru yang menjelaskan mengapa Indonesia saat ini harus menghadapi perjuangan abadi dalam menyeimbangkan antara kepastian hukum ala Barat (yang diwarisi melalui konkordansi) dan keadilan substantif yang berakar pada hukum adat dan nilai-nilai lokal. Proses dekolonisasi hukum Indonesia adalah proses berkelanjutan untuk menyelesaikan warisan konflik yang ditanamkan oleh asas konkordansi berabad-abad yang lalu, memastikan bahwa hukum nasional adalah milik bangsa, bukan lagi sekadar tiruan dari negeri lain.

Perjalanan panjang reformasi hukum ini menunjukkan bahwa melepaskan diri dari bayang-bayang konkordansi membutuhkan lebih dari sekadar mengganti nama undang-undang. Ia menuntut perubahan filosofi yang mendasar, dari hukum yang berbasis ras dan impor menjadi hukum yang berbasis kesatuan dan kebutuhan sosial. Unifikasi hukum perdata, yang hingga kini belum tuntas, adalah monumen hidup dari betapa mendalam dan meluasnya pengaruh asas konkordansi terhadap tatanan hukum nasional Indonesia.

Upaya untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang baru harus secara radikal membuang prinsip-prinsip konkordansi yang memisahkan subjek hukum berdasarkan warisan kolonial dan mengintegrasikan secara penuh prinsip-prinsip hukum adat yang telah teruji dalam masyarakat. Ini adalah tugas historis yang belum selesai, menuntut sintesis cermat antara kepastian hukum modern (yang merupakan sisi positif dari kodifikasi) dan keadilan substansial lokal (yang diabaikan oleh konkordansi).

🏠 Homepage