Asuransi jiwa syariah, atau sering disebut sebagai takaful jiwa, adalah sebuah sistem perlindungan finansial yang berakar kuat pada nilai-nilai Islam. Berbeda dengan asuransi konvensional yang beroperasi berdasarkan prinsip transfer risiko dan perhitungan bunga (riba), asuransi jiwa syariah dibangun atas dasar ta’awun (tolong-menolong) dan tabarru’ (hibah dana kebajikan). Sistem ini memastikan bahwa setiap transaksi yang terjadi bersih dari unsur-unsur yang dilarang dalam syariat, seperti gharar (ketidakjelasan), maysir (spekulasi/perjudian), dan riba (bunga).
Inti dari Asuransi Jiwa Syariah adalah Ta’awun, di mana setiap peserta berkontribusi pada dana kolektif untuk saling membantu jika salah satu peserta mengalami musibah.
Pemahaman mendalam tentang Asuransi Jiwa Syariah (AJS) memerlukan penelusuran kembali pada prinsip-prinsip ekonomi Islam. Islam mendorong umatnya untuk merencanakan masa depan, namun perencanaan tersebut harus dilakukan melalui cara-cara yang halal dan adil. AJS hadir sebagai solusi keuangan yang menjembatani kebutuhan proteksi modern dengan kepatuhan syariat Islam yang ketat.
AJS adalah akad antara perusahaan (disebut Pengelola/Operator Takaful) dan para peserta, di mana para peserta sepakat untuk menyisihkan sebagian dana (kontribusi) mereka ke dalam sebuah rekening kolektif yang disebut Dana Tabarru’. Dana ini berfungsi sebagai dana cadangan sosial. Jika salah satu peserta meninggal dunia atau mengalami risiko yang disepakati, ia atau ahli warisnya berhak menerima santunan dari Dana Tabarru’ tersebut.
Konsep utamanya adalah bahwa peserta bukan 'membeli' proteksi dari perusahaan, melainkan 'berbagi risiko' dengan sesama peserta. Perusahaan bertindak hanya sebagai manajer investasi dan operator administrasi yang mengelola dana tersebut secara profesional, sesuai dengan prinsip syariah.
Perbedaan filosofis dan operasional antara AJS dan asuransi konvensional sangat fundamental, meliputi sumber dana, akad yang digunakan, dan pengelolaan investasinya.
| Aspek Pembeda | Asuransi Jiwa Syariah (Takaful) | Asuransi Konvensional |
|---|---|---|
| Akad Dasar | Akad Tabarru’ (Hibah/Donasi) dan Wakalah (Perwakilan) atau Mudharabah (Bagi Hasil). | Akad Mu’awadhat (Jual Beli Risiko). |
| Kepemilikan Dana | Dana Tabarru’ sepenuhnya dimiliki oleh peserta (kumpulan dana). | Premi sepenuhnya menjadi milik perusahaan asuransi. |
| Pengelolaan Keuangan | Harus memisahkan Dana Tabarru’ dan Dana Investasi Peserta dari Dana Perusahaan. | Semua dana dikelola dalam satu neraca perusahaan. |
| Investasi | Hanya diizinkan pada instrumen investasi yang halal (misalnya, tidak boleh di saham perusahaan minuman keras, judi, atau bank konvensional). | Bebas, umumnya berinvestasi di mana saja untuk memaksimalkan keuntungan. |
| Keuntungan/Surplus | Surplus underwriting (kelebihan dana) dapat dibagikan kepada peserta (sesuai fatwa). | Keuntungan underwriting sepenuhnya milik pemegang saham perusahaan. |
| Pengawasan | Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan DSN-MUI. | Diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). |
Tiga larangan utama dalam transaksi keuangan Islam yang dihindari oleh AJS adalah:
Operasional Asuransi Jiwa Syariah didasarkan pada landasan hukum yang kuat yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Kepatuhan terhadap rukun ini menjamin keabsahan syariah dari seluruh produk yang ditawarkan.
Tabarru’ adalah pilar utama yang membedakan AJS. Secara harfiah berarti 'donasi' atau 'hibah'. Dalam konteks AJS, kontribusi yang dibayarkan peserta dibagi menjadi dua bagian: sebagian untuk biaya operasional perusahaan (jika menggunakan akad Wakalah) dan sebagian besar dimasukkan ke dalam Dana Tabarru’.
Implikasi Akad Tabarru’ terhadap Risiko:
Ketika peserta menyetorkan dana ke Tabarru’, kepemilikan dana tersebut secara hukum berpindah dari peserta individu menjadi milik kolektif (semua peserta). Peserta yang mengalami musibah berhak menerima klaim, bukan karena ia 'membeli' santunan, melainkan karena ia adalah salah satu penerima hibah dari dana kolektif yang telah disepakati untuk tujuan tolong-menolong.
Pengelolaan Dana Tabarru’ harus transparan. Dana ini digunakan untuk membayar klaim, dan jika terjadi surplus (jumlah kontribusi melebihi klaim yang dibayarkan), surplus ini dapat dialokasikan kembali kepada peserta, atau digunakan untuk menutupi defisit (jika ada) di masa depan, atau bahkan disalurkan untuk kepentingan sosial (amal).
Perusahaan Takaful menggunakan kombinasi akad untuk mengatur hubungan antara peserta dan operator, serta pengelolaan dana investasi.
Kepatuhan Syariah menjamin bahwa seluruh operasional, dari investasi hingga pembagian keuntungan, dilakukan dengan adil dan transparan di bawah pengawasan DPS.
Mirip dengan asuransi konvensional, AJS menawarkan berbagai produk yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan perlindungan finansial yang beragam. Namun, semua produk ini dibingkai dalam akad syariah yang telah disepakati.
Takaful berjangka memberikan perlindungan untuk jangka waktu tertentu (misalnya 5, 10, atau 20 tahun). Jika peserta meninggal dalam masa perlindungan, ahli waris menerima santunan. Jika peserta hidup hingga akhir masa kontrak, tidak ada klaim yang dibayarkan, dan kontribusi yang disetorkan ke Dana Tabarru’ akan tetap berada di sana untuk kepentingan peserta lain.
Produk ini ideal bagi mereka yang membutuhkan perlindungan finansial besar dengan kontribusi yang relatif rendah, biasanya untuk menutup risiko pinjaman syariah atau melindungi pendapatan keluarga selama masa produktif orang tua.
Produk ini memberikan perlindungan seumur hidup (hingga usia 99 atau 100 tahun). Kontribusi yang dibayarkan biasanya lebih besar karena mencakup dua unsur: perlindungan dan nilai tunai (tabungan) yang diinvestasikan. Dalam AJS, nilai tunai ini dikelola melalui skema investasi syariah, bersih dari riba, dan menggunakan akad Mudharabah atau Wakalah.
Manfaat Takaful Seumur Hidup:
Unit Link Syariah adalah produk hibrida yang menggabungkan proteksi jiwa (melalui Dana Tabarru’) dengan investasi (melalui pembelian unit investasi syariah). Sebagian kontribusi dialokasikan ke Dana Tabarru’ untuk proteksi, dan sebagian besar dialokasikan untuk investasi yang dikelola secara syariah.
Karakteristik Kunci Unit Link Syariah:
Meskipun fokus utama adalah jiwa, banyak operator Takaful juga menawarkan perlindungan terkait kesehatan dan pendidikan, tetap menggunakan Dana Tabarru’ sebagai basis utama. Untuk Takaful Pendidikan, produk ini dirancang untuk memastikan adanya dana pendidikan bagi anak meskipun orang tua meninggal dunia atau cacat permanen. Sementara Takaful Kesehatan menjamin biaya pengobatan sesuai dengan plafon yang disepakati, seluruhnya dioperasikan tanpa unsur gharar dalam klaim dan tanpa investasi yang tidak syar'i.
Salah satu tantangan terbesar dalam sistem AJS adalah memastikan keberlanjutan Dana Tabarru’ agar selalu mencukupi untuk membayar klaim. Pengelolaan risiko yang cermat dan strategi keuangan yang prudent sangatlah penting.
Untuk menanggulangi risiko kerugian besar yang bisa menghabiskan Dana Tabarru’ (misalnya, klaim masif akibat bencana), perusahaan Takaful wajib bekerja sama dengan perusahaan Re-Takaful (reasuransi syariah). Re-Takaful berfungsi sebagai jaring pengaman bagi operator Takaful.
Prinsip operasional Re-Takaful sama dengan Takaful: Dana yang diserahkan oleh operator Takaful ke Re-Takaful juga berbentuk Tabarru’ dan tidak mengandung unsur transfer risiko jual-beli, melainkan saling menanggung risiko antar-perusahaan Takaful.
Jika, karena suatu hal, Dana Tabarru’ mengalami defisit (dana tidak mencukupi untuk membayar klaim yang sah), perusahaan Takaful diperbolehkan memberikan Qardh Hasan (pinjaman kebajikan) kepada Dana Tabarru’ dari Dana Perusahaan. Qardh Hasan adalah pinjaman tanpa bunga yang harus dikembalikan oleh Dana Tabarru’ ketika dana tersebut sudah surplus kembali. Mekanisme ini memastikan bahwa kewajiban terhadap peserta tetap terpenuhi tanpa melanggar prinsip riba.
AJS diwajibkan menyajikan dua jenis laporan keuangan yang berbeda:
Kepercayaan publik terhadap Asuransi Jiwa Syariah sangat bergantung pada seberapa ketat pengawasan syariah diterapkan. Di Indonesia, mekanisme ini dijamin melalui lembaga formal yang memiliki otoritas syariah dan regulasi.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah lembaga yang menetapkan Fatwa yang menjadi dasar hukum seluruh operasional keuangan syariah, termasuk AJS. Setiap produk, akad, dan mekanisme operasional Takaful wajib mendapatkan persetujuan dan sesuai dengan Fatwa DSN-MUI sebelum diluncurkan.
Fatwa-fatwa kunci yang mengatur AJS mencakup:
Setiap operator Takaful wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditunjuk oleh OJK atas rekomendasi DSN-MUI. DPS adalah otoritas internal tertinggi yang menjamin kepatuhan syariah harian perusahaan.
Tugas DPS mencakup:
Asuransi Jiwa Syariah memberikan perlindungan finansial yang aman dan halal bagi keluarga, menjamin ketenangan pikiran bagi peserta.
Manfaat AJS melampaui sekadar kompensasi finansial; ia mencakup dimensi spiritual dan sosial yang kuat, menjadikannya instrumen muamalah yang berdimensi ganda: duniawi dan ukhrawi.
Karena AJS beroperasi atas dasar tolong-menolong, setiap kontribusi Tabarru’ yang dibayarkan oleh peserta dianggap sebagai amal jariyah (donasi berkelanjutan). Bahkan jika peserta tidak pernah mengajukan klaim, dananya telah digunakan untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah. Ini menumbuhkan rasa persaudaraan (ukhuwah) dan solidaritas sosial dalam komunitas peserta.
Sistem ini mendorong kesadaran kolektif bahwa risiko bukanlah beban individu semata, melainkan tanggung jawab bersama yang dipikul secara gotong royong.
Bagi umat Islam, kepastian bahwa transaksi yang dilakukan adalah halal dan sesuai syariat adalah manfaat spiritual terbesar. Dengan adanya pengawasan ketat dari DPS dan Fatwa DSN-MUI, peserta tidak perlu khawatir tentang unsur riba, gharar, atau maysir dalam perlindungan finansial mereka.
Ini memberikan ketenangan hati (thuma'ninah) yang merupakan nilai tak ternilai, di mana perencanaan masa depan keluarga dilakukan tanpa mengorbankan keyakinan agama.
AJS sering diintegrasikan dalam perencanaan warisan syariah. Santunan yang diterima ahli waris dari Dana Tabarru’ bukanlah bagian dari harta warisan, melainkan hibah yang diterima berdasarkan akad Takaful. Dengan demikian, santunan tersebut dapat segera dimanfaatkan tanpa harus melalui proses pembagian waris yang panjang.
Beberapa produk AJS juga menawarkan opsi wakaf, di mana sebagian hasil investasi atau santunan klaim dapat disalurkan ke lembaga wakaf. Hal ini memungkinkan peserta untuk terus beramal melalui skema perlindungan finansial mereka, memastikan manfaat harta mereka berlanjut bahkan setelah meninggal dunia.
Proses menjadi peserta AJS memiliki beberapa tahapan penting, mulai dari pengajuan hingga pengelolaan kontribusi yang dibayarkan secara rutin.
Calon peserta mengajukan permohonan dan harus mengungkapkan kondisi kesehatan secara jujur (prinsip kejujuran/shiddiq). Berdasarkan risiko yang dievaluasi, perusahaan akan menentukan besaran kontribusi. Kontribusi ini harus mencukupi untuk tiga komponen utama:
Setelah pengajuan disetujui, peserta dan operator menandatangani akad yang secara jelas merinci hak dan kewajiban masing-masing pihak, jenis akad yang digunakan (Wakalah, Mudharabah, atau kombinasi), dan nisbah bagi hasil (jika ada).
Kontribusi yang dibayarkan secara berkala dikelola dengan ketat. Jika pada akhir periode tertentu, total kontribusi Tabarru’ yang terkumpul melebihi total klaim yang dibayarkan (terjadi Surplus Underwriting), maka surplus ini harus dipertanggungjawabkan sesuai Fatwa DSN-MUI.
Beberapa skema pembagian surplus underwriting:
Pemanfaatan surplus ini adalah salah satu indikator utama transparansi dan keadilan dalam sistem AJS, di mana keuntungan tidak sepenuhnya dinikmati oleh pemegang saham perusahaan.
Pengelolaan aset dan investasi dana peserta adalah area kritis yang harus sepenuhnya patuh syariah. Kegagalan dalam aspek investasi dapat membatalkan keabsahan seluruh sistem Takaful.
Operator AJS hanya boleh menginvestasikan Dana Tabarru’ dan Dana Investasi Peserta pada instrumen keuangan yang masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan diawasi DSN-MUI. Secara umum, investasi harus menghindari:
Instrumen yang umum digunakan meliputi:
Dalam dunia investasi, terkadang aset syariah pun mungkin menghasilkan pendapatan minor yang berasal dari sumber non-halal (misalnya, bunga dari rekening bank syariah yang wajib ditempatkan di bank konvensional untuk transaksi tertentu, atau pendapatan lain yang tidak disengaja). Operator Takaful memiliki kewajiban untuk melakukan Cleansing atau pembersihan harta.
Dana yang teridentifikasi sebagai non-halal (pendapatan haram) tidak boleh dicampurkan dengan Dana Tabarru’ atau keuntungan investasi peserta. Dana tersebut wajib disalurkan untuk kepentingan sosial atau amal, tanpa boleh diakui sebagai pendapatan perusahaan atau dibagikan kepada peserta.
Meskipun pertumbuhan AJS di Indonesia dan global menunjukkan tren positif, industri ini menghadapi tantangan unik, terutama dalam hal penetrasi pasar dan inovasi produk.
Salah satu hambatan terbesar adalah rendahnya literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat. Banyak calon peserta masih bingung membedakan premi dan kontribusi, serta tidak memahami secara mendalam konsep Tabarru’ dan bagi hasil.
Upaya yang harus dilakukan oleh operator AJS adalah edukasi yang lebih masif dan sederhana mengenai keunggulan model syariah, bukan hanya dari sisi kepatuhan agama, tetapi juga dari sisi transparansi dan keadilan finansial.
Masa depan AJS sangat bergantung pada kemampuan operator untuk beradaptasi dengan teknologi digital (Insurtech). Inovasi diperlukan untuk menciptakan produk mikro-takaful yang terjangkau, proses klaim berbasis digital, dan platform edukasi interaktif.
Digitalisasi juga membantu meningkatkan transparansi, di mana peserta dapat memantau secara real-time bagaimana Dana Tabarru’ mereka dikelola dan digunakan untuk klaim.
Meskipun regulasi syariah di Indonesia sudah mapan, harmonisasi antara aturan OJK dan Fatwa DSN-MUI harus terus diperkuat. Kepastian hukum mengenai pembagian surplus dan penanganan defisit (Qardh) harus jelas agar operator dapat beroperasi dengan efisien dan menarik investor baru.
Asuransi Jiwa Syariah adalah lebih dari sekadar kontrak perlindungan; ini adalah implementasi praktis dari nilai-nilai tolong-menolong dalam komunitas Muslim. Dengan landasan akad Tabarru’ yang menghilangkan unsur riba dan spekulasi, serta pengawasan ketat dari DPS, AJS menawarkan solusi finansial yang tidak hanya aman secara ekonomi tetapi juga menenangkan secara spiritual.
Memilih asuransi jiwa syariah berarti memilih sistem di mana kontribusi yang dibayarkan berperan ganda: melindungi masa depan finansial keluarga sekaligus menjadi amal kebajikan yang berkelanjutan. Hal ini menjamin bahwa setiap transaksi yang dilakukan berada dalam koridor syariat Islam, memberikan keberkahan dan ketenangan bagi seluruh peserta.
Dengan pemahaman yang kuat terhadap fondasi syariah dan mekanisme operasionalnya, masyarakat dapat memanfaatkan Asuransi Jiwa Syariah sebagai instrumen perencanaan keuangan yang komprehensif, adil, dan penuh berkah.
Untuk memahami kedalaman AJS, penting untuk membedah lebih lanjut perspektif fiqih muamalah yang melandasinya. Dalam fiqih, transaksi (muamalah) diklasifikasikan menjadi transaksi komersial (mu’awadhat, seperti jual-beli) dan transaksi non-komersial (tabarru’at, seperti hibah, wakaf, dan sedekah). Asuransi konvensional dianggap sebagai mu’awadhat risiko, yang mana ulama fiqih kontemporer cenderung melihat adanya unsur gharar yang dilarang.
AJS, melalui akad Tabarru’, secara fundamental memindahkan transaksi dari kategori komersial ke kategori sosial (tolong-menolong). Namun, karena operator harus mendapatkan kompensasi untuk jasa pengelolaan, digunakanlah akad sampingan seperti Wakalah. Keterkaitan antara Tabarru’ dan Wakalah menciptakan kerangka hukum yang kompleks namun syar’i.
Dalam akad Wakalah bil Ujrah, operator Takaful menerima ujrah (fee) sebagai imbalan jasa administrasi dan pengelolaan. Ujrah ini harus bersifat tetap dan diketahui di awal, tidak boleh mengambil persentase dari hasil klaim atau keuntungan underwriting, agar tidak menyerupai maysir.
Risiko terbesar dalam AJS adalah defisit Dana Tabarru’, yaitu ketika jumlah klaim yang harus dibayarkan melebihi dana yang tersedia. Meskipun operator telah melakukan re-takaful dan manajemen risiko yang ketat (seperti penetapan kontribusi yang prudent), defisit masih mungkin terjadi akibat musibah besar atau prediksi aktuaria yang meleset.
Di sinilah peran Qardh Hasan (pinjaman tanpa bunga) dari Dana Perusahaan menjadi vital. Kewajiban Qardh Hasan ini bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga kewajiban moral dan syariah. Fiqih menetapkan bahwa pinjaman kebajikan ini harus didahulukan pengembaliannya begitu Dana Tabarru’ kembali surplus. Jika Dana Perusahaan tidak mampu memberikan Qardh Hasan, maka keberlanjutan operasional dan kredibilitas syariah perusahaan tersebut akan dipertanyakan.
Unit Link Syariah (ULS) adalah produk yang sangat populer karena menggabungkan proteksi dan investasi. Dari sudut pandang syariah, ULS harus memastikan pemisahan (ring-fencing) yang sangat ketat antara Dana Tabarru’ (risiko) dan Dana Investasi Peserta (kekayaan). Dana Investasi ini dikelola sepenuhnya menggunakan akad Mudharabah (bagi hasil).
Dalam Mudharabah, risiko investasi ditanggung oleh peserta. Namun, perusahaan pengelola (Mudharib) menanggung risiko kelalaian atau kesalahan manajemen. Nisbah bagi hasil yang adil (misalnya 70:30 atau 80:20) harus disepakati di awal. Keuntungan utama ULS adalah fleksibilitas peserta dalam mengalihkan dana investasinya antar-jenis investasi syariah, memungkinkan mereka untuk menyesuaikan risiko sesuai dengan profil toleransi risiko masing-masing.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran penting dalam memastikan kesehatan finansial dan operasional AJS. Regulasi OJK tidak hanya mengatur aspek kesehatan keuangan (seperti rasio solvabilitas/Risk-Based Capital Syariah), tetapi juga memastikan pemisahan aset (segregation) antara dana Takaful dan dana non-Takaful (dana konvensional, jika perusahaan memiliki unit syariah/UUS).
Rasio Solvabilitas Dana Tabarru’ harus selalu berada di atas batas minimum yang ditetapkan OJK. Jika rasio ini menurun drastis, OJK dapat memerintahkan perusahaan untuk mengambil langkah korektif, termasuk memperkuat Dana Tabarru’ melalui peningkatan kontribusi atau injeksi Qardh Hasan.
Inovasi terbaru dalam AJS adalah integrasinya dengan wakaf uang. Wakaf uang adalah harta benda wakaf yang diwujudkan dalam bentuk uang tunai dan dimanfaatkan sebagai investasi syariah produktif. Dalam konteks AJS, peserta dapat mewakafkan sebagian santunan (atau hasil investasi Unit Link) yang akan dikelola oleh Nazhir (pengelola wakaf).
Manfaat dari skema ini sangat besar: Dana wakaf tersebut menjadi modal abadi yang hasilnya (mauquf alaih) digunakan untuk kepentingan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, atau pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, produk AJS tidak hanya melindungi keluarga peserta, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan sosio-ekonomi yang berkelanjutan.
Meskipun prinsip dasar aktuaria (ilmu yang menghitung risiko keuangan) tetap sama dalam kedua sistem, penerapannya dalam AJS harus disesuaikan. Aktuaria syariah berfokus pada keadilan dan kecukupan dana, terutama dalam penetapan Kontribusi Tabarru’. Kontribusi harus ditetapkan sedemikian rupa agar Dana Tabarru’ memiliki peluang besar untuk surplus, atau setidaknya tidak defisit, tanpa unsur eksploitasi peserta.
Kontribusi di AJS tidak boleh mengandung unsur biaya bunga atau premi risiko yang berlebihan. Penghitungan biaya ujrah (fee operasional) juga harus dijustifikasi berdasarkan biaya riil pengelolaan, bukan semata-mata berdasarkan profitabilitas yang ingin dicapai oleh pemegang saham perusahaan.
Agen Takaful (disebut juga Perantara Takaful) memegang peran kunci. Etika dalam pemasaran AJS harus berlandaskan prinsip Islam. Agen wajib menjelaskan secara transparan perbedaan mendasar antara AJS dan konvensional, terutama mengenai kepemilikan Dana Tabarru’ dan risiko investasi. DSN-MUI telah mengeluarkan pedoman etika bagi agen Takaful, menekankan pentingnya kejujuran, menghindari janji imbal hasil yang pasti (karena ada risiko Mudharabah), dan memastikan bahwa produk yang ditawarkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan proteksi peserta.
Proses klaim dalam AJS juga diatur oleh etika syariah. Klaim harus diproses dengan cepat dan adil (prinsip I’tidzal). Jika klaim disetujui, dana santunan diambil dari Dana Tabarru’. Jika ada keraguan mengenai keabsahan klaim, proses investigasi harus dilakukan secara profesional dan tidak merugikan peserta.
Dalam kasus klaim meninggal dunia, penerima manfaat harus ditunjuk secara jelas. Jika penerima manfaat yang ditunjuk adalah non-Muslim, santunan tetap dapat dibayarkan, karena santunan Takaful dianggap sebagai hibah (Tabarru’) dari Dana Kolektif, dan hibah diizinkan untuk diberikan kepada non-Muslim (selama penerima manfaat tersebut bukan musuh Islam).
Sinergi antara Bank Syariah (BS) dan Asuransi Jiwa Syariah sangat penting, terutama melalui jalur Bancassurance Syariah. BS menawarkan produk pembiayaan (KPR Syariah, Kredit Kendaraan Syariah) yang mewajibkan adanya proteksi jiwa untuk menanggung risiko jika nasabah meninggal sebelum lunas. Proteksi ini harus diambil dari AJS (disebut Takaful Pembiayaan).
Kemitraan ini memastikan bahwa seluruh rantai transaksi keuangan syariah (dari pembiayaan hingga proteksi) tetap murni syariah, menghindari proteksi konvensional yang dapat mencemari akad pembiayaan yang sudah halal.
Model Takaful sangat ideal untuk diterapkan pada segmen masyarakat berpenghasilan rendah atau usaha mikro (Microtakaful). Dengan kontribusi yang sangat kecil, masyarakat dapat memiliki akses terhadap perlindungan dasar kesehatan atau jiwa. Produk Microtakaful seringkali menggunakan basis akad Wakalah yang sangat sederhana dan memfokuskan sebagian besar kontribusi pada Dana Tabarru’ untuk memaksimalkan manfaat tolong-menolong. Ini adalah bentuk nyata dari misi AJS sebagai alat pemerataan kesejahteraan sosial dan finansial.
Secara keseluruhan, Asuransi Jiwa Syariah menawarkan kerangka perlindungan yang kokoh, transparan, dan teruji secara syariah, menjadikannya pilar penting dalam sistem keuangan Islam modern dan pilihan bijak bagi masyarakat yang mengutamakan keberkahan dalam setiap aspek kehidupannya.