Ilustrasi Simbolik Peringatan Iman.
Dalam ajaran Islam, puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Kewajiban ini mengandung hikmah spiritual dan fisik yang mendalam. Oleh karena itu, meninggalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan agama sering kali dikaitkan dengan konsekuensi serius, baik di dunia maupun di akhirat, yang sering kali dipahami sebagai bentuk "azab" atau sanksi ilahiah.
Secara hukum fikih, sengaja meninggalkan puasa (bukan karena sakit, safar, haid, nifas, atau kondisi darurat lainnya) termasuk dosa besar. Konsekuensi langsung yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah kewajiban untuk mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan, ditambah dengan kewajiban membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah ini berfungsi sebagai pengingat bahwa pelanggaran terhadap perintah agama harus ditebus. Meskipun fidyah meringankan secara material, ia tidak menghapus dosa meninggalkan kewajiban utama. Pelaku yang lalai dari kewajiban ini sering kali menghadapi teguran dari komunitasnya sebagai bentuk sanksi sosial atas pelanggaran norma keagamaan.
Istilah "azab" sering kali merujuk pada sanksi yang dijanjikan di Hari Penghakiman. Dalam berbagai riwayat dan tafsir, meninggalkan ibadah fundamental seperti puasa tanpa alasan sah dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap janji setia kepada Allah SWT. Ini adalah bentuk pembangkangan yang berat.
Para ahli tafsir sering merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menekankan betapa mulianya derajat orang-orang yang berpuasa. Sebaliknya, mereka yang dengan sengaja menolak melaksanakan perintah ini berpotensi kehilangan pahala yang dijanjikan, termasuk pintu surga khusus yang diperuntukkan bagi orang berpuasa. Konsekuensi terberat bukanlah siksaan fisik semata, melainkan terhalangnya rahmat dan keridhaan Ilahi, yang pada dasarnya merupakan "azab" spiritual terbesar bagi seorang mukmin.
Penting untuk membedakan antara kelalaian yang diikuti penyesalan dan ketidaksengajaan (yang masih membutuhkan qadha dan fidyah) dengan sikap mengingkari kewajiban puasa. Jika seseorang secara terang-terangan menyatakan bahwa puasa itu tidak wajib, hal ini bisa berujung pada status kekufuran karena telah menolak salah satu pilar agama yang telah disepakati secara universal dalam Islam. Sikap mengingkari ini tentu membawa konsekuensi akhirat yang jauh lebih berat daripada sekadar "azab" karena meninggalkan praktik ibadah semata.
Meskipun ancaman konsekuensi itu nyata, pintu rahmat Allah selalu terbuka. Bagi mereka yang telah meninggalkan puasa di masa lalu karena ketidaktahuan atau kelalaian, langkah terbaik adalah segera bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha). Ini melibatkan tiga komponen utama: menyesali perbuatan, berjanji untuk tidak mengulanginya, dan segera mengganti kewajiban yang tertinggal (qadha dan fidyah).
Taubat yang tulus diharapkan dapat menghapus dampak negatif dari perbuatan tersebut, meskipun sanksi penggantian ibadah tetap harus dilaksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban duniawi. Dengan demikian, fokus utama seharusnya beralih dari ketakutan akan azab semata, menjadi dorongan kuat untuk kembali taat dan memaksimalkan ibadah di waktu yang tersisa. Menghindari larangan agama adalah upaya menjaga integritas spiritual diri.