Hubungan antara anak dan orang tua adalah ikatan suci yang dibangun di atas fondasi kasih sayang, pengorbanan, dan tanggung jawab. Namun, dalam dinamika kehidupan modern, terkadang batas kesopanan dan penghormatan ini terabaikan. Rasa lelah, ego, atau kesalahpahaman dapat memicu tindakan yang sangat dilarang oleh norma ketimuran maupun ajaran agama: **berani atau durhaka kepada orang tua**.
Ketika kita berbicara tentang "berani" kepada orang tua, ini tidak merujuk pada sikap kritis yang membangun atau diskusi sehat. Ini merujuk pada pembangkangan yang disertai dengan ucapan kasar, pembentakan, meremehkan nasihat mereka, atau bahkan mengabaikan kebutuhan mereka di usia senja. Orang tua telah mengorbankan waktu, harta, dan tenaga demi membesarkan kita. Oleh karena itu, balasan yang mereka harapkan adalah bakti, bukan penghinaan.
Dalam banyak tradisi spiritual, menghormati kedua orang tua ditempatkan hampir sejajar dengan ketaatan kepada Tuhan. Perlakuan buruk sekecil apa pun sering kali dipandang memiliki dampak spiritual dan karmik yang besar. Kata-kata yang terucap tanpa disadari bisa menjadi belati yang melukai hati mereka yang paling mencintai kita.
Azab yang dimaksud tidak selalu harus berupa peristiwa spektakuler yang datang dari dimensi lain. Konsekuensi dari durhaka seringkali dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.
Salah satu azab paling nyata adalah hilangnya ketenangan batin. Orang yang senantiasa mendurhakai orang tuanya seringkali hidup dalam kegelisahan. Rasa bersalah yang terpendam, meskipun ditutupi oleh kesibukan dunia, akan menggerogoti kedamaian hati. Doa-doa yang dipanjatkan terasa berat karena hati ternoda oleh perbuatan durhaka.
Banyak kisah yang menceritakan bagaimana keberkahan dalam karier, rezeki, atau bahkan dalam mendidik anak sendiri hilang karena adanya noda dosa terhadap orang tua. Ketika fondasi rumah tangga (hubungan anak-orang tua) retak, bangunan kehidupan yang didirikan di atasnya cenderung rapuh. Keberkahan adalah hal gaib; ia mudah dicabut ketika kita melanggar hak asasi orang yang paling berjasa.
Secara sosial, perilaku ini seringkali menjadi cerminan yang akan dilihat oleh anak-anak kita sendiri. Anak meniru apa yang mereka lihat. Jika mereka menyaksikan kita meninggikan suara atau meremehkan kakek nenek mereka, kemungkinan besar pola yang sama akan terulang pada generasi berikutnya. Inilah bentuk "azab" yang berkelanjutan, yaitu menyaksikan buah dari perbuatan buruk kita tumbuh dalam diri keturunan kita.
Jika terlanjur melakukan kesalahan, pintu penyesalan dan perbaikan selalu terbuka. Meminta maaf tulus kepada orang tua adalah langkah pertama yang krusial. Tindakan nyata seperti memberikan waktu, perhatian lebih, dan melayani mereka adalah bentuk penebusan yang lebih bermakna daripada sekadar kata-kata.
Dunia terus bergerak, dan tuntutan zaman seringkali menjadi pembenaran bagi kita untuk bersikap kurang ajar. Namun, kita harus selalu ingat, tidak peduli seberapa sukses atau mandiri kita, rasa hormat adalah mata uang yang tidak pernah lekang oleh waktu dalam interaksi dengan orang yang melahirkan dan membesarkan kita. Mengingat potensi azab, baik di dunia maupun akhirat, seharusnya menjadi rem terkuat yang menahan lidah dan perbuatan kita agar selalu berada dalam koridor bakti dan kasih sayang. Jauhi sikap berani yang tidak perlu, dan pilihlah jalan penghormatan seumur hidup.