Hutang, dalam pandangan syariat Islam, bukanlah sekadar masalah finansial biasa. Ia adalah amanah berat yang harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Islam sangat menekankan pentingnya menepati janji dan menyelesaikan kewajiban, terutama hutang piutang. Meninggalkan hutang tanpa alasan yang sah dapat mendatangkan konsekuensi serius yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Bahkan sebelum menghadapi hari perhitungan di akhirat, dampak negatif dari hutang yang belum terbayar sudah terasa di kehidupan duniawi. Rasulullah ﷺ telah memberikan peringatan keras mengenai hal ini. Seseorang yang meninggal dunia namun masih meninggalkan hutang, maka hak tersebut akan tetap menjadi tanggung jawabnya.
Hadits ini menunjukkan bahwa hutang mengikat jiwa (ruh) seseorang. Artinya, ketenangan batin dan kebebasan sejati seseorang terhalang selama ia masih memiliki tanggungan hutang yang belum terbayar. Ketenangan pikiran sering kali hilang, digantikan oleh kecemasan dan rasa tertekan yang berkelanjutan, mempengaruhi ibadah dan interaksi sosialnya.
Ancaman terbesar dari hutang adalah di hadapan Allah SWT pada hari kiamat. Islam mengajarkan bahwa pahala amal ibadah seseorang, meskipun banyak, bisa terpotong karena tanggungan hutang.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seseorang datang membawa amal kebaikan seberat gunung, namun ketika di akhirat, ia didatangi oleh orang yang pernah ia dzalimi atau berhutang padanya. Jika orang tersebut menuntut haknya, maka pahala orang yang berhutang akan diberikan kepada pihak yang menuntut hingga habis. Jika pahalanya habis sebelum semua hutang tertutupi, maka dosa pihak yang menuntut akan ditransfer kepada orang yang berhutang tersebut. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang hak sesama.
Bahkan status kemuliaan tertinggi seperti syuhada (gugur di medan perang) pun memiliki pengecualian terkait hutang. Rasulullah ﷺ bersabda, "Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali hutangnya." (Hadits Riwayat Muslim). Pengecualian ini menegaskan bahwa kewajiban terhadap sesama manusia (melunasi hutang) memiliki bobot yang sangat besar di sisi Allah, bahkan melebihi konsekuensi dari dosa-dosa lainnya yang terampuni oleh pengorbanan syahid.
Islam tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga memberikan panduan solusi. Bagi yang memiliki kemampuan, menunda pembayaran hutang tanpa alasan yang jelas adalah perbuatan tercela. Sementara itu, bagi pemberi pinjaman, Islam menganjurkan sikap lapang dada dan memberi tenggang waktu (inzar) kepada peminjam yang sedang mengalami kesulitan finansial.
Sikap menunda-nunda pelunasan padahal mampu, termasuk bentuk penindasan (dzalim) dan merupakan pintu menuju azab. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib bersikap amanah dan bertanggung jawab. Jika seseorang merasa terbebani hutang, ia dianjurkan untuk terus berdoa, berusaha mencari jalan rezeki halal untuk melunasinya, serta meminta keringanan dari pihak pemberi pinjaman dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, azab hutang dalam Islam mencakup hilangnya ketenangan di dunia dan potensi terpotongnya pahala di akhirat. Hutang adalah urusan antarmanusia yang harus diselesaikan dengan sungguh-sungguh karena implikasinya menyentuh pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Hindari berhutang kecuali benar-benar darurat, dan jika terlanjur berhutang, segera berniat dan berupaya keras untuk melunasinya.