Tindakan meremehkan atau menghina kitab suci adalah hal yang sangat serius dalam perspektif agama. Salah satu tindakan yang paling sensitif dan kerap dibahas adalah penghinaan fisik terhadap Mushaf Al-Qur'an, seperti menginjaknya. Dalam Islam, Al-Qur'an dipandang sebagai firman Allah SWT yang memiliki kedudukan tertinggi, dan penghinaan terhadapnya dianggap sebagai bentuk kekufuran atau kemurtadan.
Ilustrasi: Peringatan akan kesucian Mushaf.
Al-Qur'an bukan sekadar buku biasa; ia adalah kalamullah (firman Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk, rahmat, dan hukum bagi umat manusia. Karena asalnya yang ilahiah, penghormatan terhadap Mushaf (fisik Al-Qur'an) adalah cerminan penghormatan terhadap Zat yang menurunkannya. Menghormati Mushaf berarti menjaga keaslian dan kesuciannya, meletakkannya di tempat yang tinggi, jauh dari najis, dan tidak menggunakannya untuk hal-hal yang merendahkan.
Menginjak sebuah benda sering kali merupakan ekspresi meremehkan, menghina, atau menunjukkan ketidakpedulian total terhadap nilai benda tersebut. Ketika hal ini dilakukan terhadap Al-Qur'an, implikasinya meluas jauh melampaui sekadar tindakan fisik. Para ulama sepakat bahwa sengaja menginjak atau meletakkan Mushaf di tempat yang kotor dan hina adalah bentuk penghinaan yang nyata. Dalam hukum Islam, tindakan ini dikategorikan sebagai perbuatan kekufuran (syirk) jika dilakukan dengan kesadaran penuh akan maknanya, karena menunjukkan penolakan total terhadap keagungan wahyu Allah.
Konsekuensi dari penghinaan terhadap kitab suci sangat berat. Meskipun rahmat Allah sangat luas, ada batasan tertentu yang jika dilanggar, pelakunya menghadapi ancaman azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat. Tindakan sengaja menghina Al-Qur'an dapat dianggap sebagai pembatalan keimanan (irtidad). Dalam konteks ini, ancaman azab bukan sekadar hukuman duniawi, tetapi konsekuensi spiritual yang merusak hubungan seseorang dengan Tuhannya.
Uluran tangan Allah selalu terbuka untuk taubat yang tulus. Namun, penting untuk dipahami bahwa pintu taubat baru bisa dibuka jika ada penyesalan yang mendalam dan komitmen kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat ini harus disertai dengan pengakuan dosa, penyesalan, dan janji untuk senantiasa memuliakan syiar dan kitab suci Allah SWT.
Penyebab utama tindakan ceroboh seperti menginjak Al-Qur'an seringkali bersumber dari kurangnya pendidikan agama dan minimnya pemahaman tentang tingginya kedudukan kitab suci. Oleh karena itu, penyebaran ilmu dan penekanan pada adab (etika) dalam memperlakukan Al-Qur'an harus menjadi prioritas utama dalam masyarakat Muslim.
Memuliakan Al-Qur'an mencakup cara kita membaca, menyimpan, dan membawa Mushaf. Ia harus diletakkan di tempat yang paling terhormat di rumah, dijauhkan dari lantai, tempat kotor, atau area yang tidak layak. Sikap penghormatan ini merupakan bentuk syukur kita karena telah dianugerahi petunjuk paling sempurna dari Allah SWT.
Menghindari segala bentuk pelecehan terhadap Al-Qur'an adalah bagian integral dari iman. Memahami bahwa setiap hurufnya mengandung nilai sakral akan mendorong setiap Muslim untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakan yang berhubungan dengan kitab suci ini. Sikap ini bukan tentang takhayul, melainkan implementasi nyata dari kecintaan dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Kesimpulannya, penghinaan fisik terhadap Al-Qur'an, seperti menginjaknya, membawa konsekuensi spiritual yang sangat berat. Hal ini adalah pelanggaran terhadap kehormatan wahyu ilahi. Oleh karena itu, kesadaran kolektif untuk menjaga kemuliaan Mushaf adalah kewajiban bersama demi menjaga kemurnian akidah dan terhindar dari segala bentuk azab yang mungkin menyertainya.