Harga Obat Antiretroviral (ARV) dalam bentuk Fixed-Dose Combination (FDC) menjadi topik krusial dalam penanganan infeksi HIV. FDC menggabungkan dua atau lebih zat aktif obat dalam satu pil, bertujuan untuk mempermudah kepatuhan minum obat (adherence) pasien sekaligus menekan potensi resistensi virus. Di Indonesia, ketersediaan dan harga ARV FDC sangat dipengaruhi oleh kebijakan program pemerintah, khususnya dalam skema pengadaan obat gratis melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau bantuan internasional.
Sebelum era FDC, pasien seringkali harus menelan 3 hingga 4 pil terpisah setiap hari. Hal ini meningkatkan risiko lupa minum obat. Dengan FDC, yang biasanya hanya satu atau dua pil per hari (tergantung regimen), kepatuhan pasien meningkat secara signifikan. Kepatuhan yang baik adalah kunci utama keberhasilan terapi, karena mencegah virus HIV berkembang menjadi resisten terhadap obat yang digunakan.
Beberapa kombinasi FDC yang umum digunakan mencakup Tenofovir (TDF) atau Tenofovir Alafenamide (TAF) dikombinasikan dengan Lamivudine (3TC) dan Efavirenz (EFV) atau Dolutegravir (DTG). Perbedaan komposisi inilah yang memengaruhi estimasi harga ARV FDC jika dibeli di luar skema program pemerintah.
Penting untuk dicatat bahwa di Indonesia, mayoritas pasien yang membutuhkan ARV mendapatkannya secara gratis melalui fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan pemerintah. Namun, bagi kasus-kasus khusus, atau jika ada kebutuhan untuk membandingkan biaya, harga ARV FDC di pasar swasta atau apotek tertentu bisa bervariasi. Harga dipengaruhi oleh merek dagang, produsen (generik vs. paten), dan bea masuk jika produk tersebut impor.
Berikut adalah perkiraan umum mengenai komponen harga yang mungkin muncul dalam konteks ARV FDC:
Penetapan harga ARV FDC tidak hanya soal bahan baku. Beberapa faktor eksternal sangat berperan:
Transparansi harga, bahkan untuk obat yang disubsidi, penting untuk memastikan efisiensi program kesehatan. Pasien dan pegiat kesehatan masyarakat perlu mengetahui perkiraan biaya agar dapat mengadvokasi ketersediaan obat yang berkelanjutan di fasilitas kesehatan lokal mereka. Jika terjadi kendala stok pada obat gratis, mengetahui kisaran harga ARV FDC di luar program bisa menjadi rujukan sementara bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial.
Mayoritas regimen lini pertama dan kedua yang direkomendasikan WHO saat ini sudah diformulasikan dalam bentuk FDC (satu atau dua tablet per hari) untuk meningkatkan kepatuhan.
Jika Anda menerima obat melalui program JKN/subsidi pemerintah, dosis dan obat yang diterima harus sama dan gratis. Namun, harga patokan di apotek swasta bisa berbeda-beda antar kota.
Cara terbaik adalah menghubungi pusat informasi obat di rumah sakit rujukan atau dinas kesehatan setempat, terutama mengenai obat yang didistribusikan dalam kerangka program pemerintah.
Kesimpulannya, meskipun harga ARV FDC di Indonesia sebagian besar tertutupi oleh skema subsidi demi memastikan akses universal, memahami dinamika biaya obat ini penting untuk keberlanjutan program penanggulangan HIV/AIDS di masa depan.