Di tengah hiruk pikuk kuliner modern yang serba instan, ada beberapa peninggalan rasa dari masa lalu yang patut dilestarikan. Salah satu yang paling otentik dan penuh kenangan adalah **jajanan awuk awuk**. Nama yang unik ini merujuk pada tekstur makanan yang kasar, 'terawuk-awuk', atau tercampur tidak rata, namun justru di situlah letak keistimewaannya.
Jajanan awuk awuk sejatinya adalah sinonim atau varian lokal dari kue tradisional berbahan dasar parutan kelapa yang diolah sedemikian rupa bersama gula, seringkali gula merah (gula jawa), hingga menghasilkan tekstur remah-remah yang manis legit dan sedikit berminyak. Meskipun namanya mungkin belum sepopuler kue lapis atau klepon di kancah nasional, bagi masyarakat di daerah tertentu, awuk awuk adalah simbol kehangatan masa kecil dan tradisi pasar tradisional.
Mengapa Disebut 'Awuk Awuk'? Filosofi di Balik Nama
Asal usul penamaan jajanan ini sangat erat kaitannya dengan teknik pembuatannya. Kata 'awuk' atau 'mengawuk' dalam bahasa Indonesia berarti mengaduk atau mencampur secara kasar. Proses pembuatan awuk awuk memang melibatkan pengadukan parutan kelapa yang telah dibumbui dengan gula, tepung ketan, dan sedikit air atau santan. Proses ini tidak bertujuan untuk membuat adonan halus seperti membuat kue, melainkan untuk menciptakan serpihan-serpihan yang kering, ringan, namun padat rasa.
Hasil akhirnya adalah jajanan yang tampak 'berantakan' atau tidak beraturan, berbeda dengan kue yang dibentuk rapi. Kekasaran tekstur inilah yang memberikan sensasi unik saat dikunyah; renyah di luar namun lembut dan lumer di dalam karena gula yang mencair perlahan di mulut. Jajanan ini seringkali disajikan dalam tumpukan kecil atau dibungkus daun pisang yang menambah aroma alami.
Bahan Dasar Sederhana, Rasa Luar Biasa
Keindahan jajanan awuk awuk terletak pada kesederhanaan bahan bakunya. Inti dari jajanan ini adalah **kelapa parut segar**. Kelapa yang digunakan biasanya adalah kelapa setengah tua agar menghasilkan parutan yang tidak terlalu keras tetapi juga tidak terlalu lembek. Kelapa inilah yang diolah menjadi 'serundeng manis' versi basah.
Bahan pemanis utamanya adalah **gula merah** atau gula aren. Penggunaan gula merah memberikan warna cokelat keemasan yang khas dan rasa karamel yang mendalam, jauh berbeda dari manisnya gula pasir biasa. Terkadang, untuk memberikan sedikit kekenyalan, ditambahkan sedikit tepung ketan atau tepung beras. Beberapa variasi menambahkan sedikit vanili atau daun pandan untuk aroma yang lebih wangi saat proses pengukusan atau sangrai.
Proses pengolahan umumnya melibatkan pengukusan atau pemanggangan (penyangraian) kelapa berbumbu hingga matang sempurna. Tujuannya adalah menghilangkan kadar air berlebih sehingga awuk awuk menjadi lebih tahan lama dan teksturnya pas—tidak terlalu basah hingga menggumpal, namun juga tidak terlalu kering hingga mudah hancur seluruhnya.
Awuk Awuk di Era Digital
Sayangnya, popularitas jajanan awuk awuk mulai meredup seiring modernisasi kuliner. Pasar modern dan minimarket jarang sekali menyediakannya. Jajanan ini kini lebih sering ditemukan di pasar tradisional yang masih mempertahankan lapak kue basah kuno atau melalui penjual keliling yang masih setia dengan resep warisan.
Namun, tren nostalgia kuliner belakangan ini mulai menghidupkan kembali minat terhadap jajanan otentik seperti awuk awuk. Banyak penggemar kuliner lawas mulai mencari resepnya atau memesan langsung dari perajin rumahan. Mereka menyadari bahwa kelezatan sejati seringkali ditemukan pada makanan yang dibuat dengan ketulusan, bukan hanya modal mesin canggih.
Mencicipi jajanan awuk awuk adalah sebuah perjalanan singkat kembali ke masa lalu. Sensasi gurih manis dari kelapa berpadu dengan aroma legit gula aren yang disajikan dengan cara yang jujur dan apa adanya. Bagi yang belum pernah mencobanya, carilah jajanan ini di sudut pasar terdekat. Anda mungkin akan menemukan bahwa kenikmatan sejati seringkali datang dalam bentuk yang paling sederhana dan sedikit "awuk-awuk" atau berantakan.
Jajanan ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan dalam rasa tidak selalu berarti penampilan yang sempurna. Terkadang, kekasaran tekstur dan kesederhanaan bahanlah yang justru menyimpan memori rasa tak ternilai harganya.