Menjelajahi Jaminan Mutu dan Amanah Syariah sebagai pilar utama integritas ekonomi global.
Jaminan Mutu Amanah Syariah, disingkat JMA Syariah, bukan sekadar sebuah sertifikasi tambahan dalam dunia bisnis Islam; ia adalah sebuah filosofi komprehensif yang mengintegrasikan prinsip-prinsip kepatuhan agama dengan standar operasional tertinggi. Dalam lanskap ekonomi modern yang seringkali diwarnai oleh ketidakpastian dan krisis kepercayaan, JMA Syariah hadir sebagai mercusuar, menawarkan kerangka kerja yang solid berdasarkan integritas, transparansi, dan keadilan mutlak.
Konsep JMA Syariah melampaui kepatuhan formal terhadap larangan seperti *riba* (bunga), *gharar* (ketidakjelasan), dan *maysir* (judi). Ia menuntut adanya jaminan kualitatif (Mutu) dan pertanggungjawaban moral (Amanah) di setiap lapisan operasional perusahaan. Ini berarti bahwa setiap produk, layanan, atau transaksi tidak hanya harus secara teknis Syariah-compliant, tetapi juga harus menghasilkan nilai optimal dan dilakukan dengan kejujuran yang tidak tercela.
Urgensi JMA Syariah meningkat seiring globalisasi. Konsumen Muslim—dan bahkan non-Muslim yang mencari etika dalam berbisnis—semakin menuntut kejelasan mengenai asal-usul produk, proses produksi, dan bagaimana keuntungan dikelola. JMA Syariah menjawab tuntutan ini dengan menyediakan mekanisme verifikasi yang ketat, memastikan bahwa janji yang diberikan kepada publik (baik janji kualitas produk maupun janji kepatuhan etika) benar-benar dipenuhi tanpa pengecualian.
Implementasi JMA Syariah yang efektif menjadi pembeda krusial antara entitas yang sekadar mengejar label Syariah dengan entitas yang menjadikannya sebagai identitas inti. Hal ini memerlukan komitmen total dari dewan direksi hingga staf lini depan, mengubah budaya perusahaan menjadi budaya yang mengedepankan pelayanan prima yang dilandasi oleh kesadaran akan pertanggungjawaban akhirat.
Kerangka JMA Syariah berdiri kokoh di atas tiga pilar utama yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Keberhasilan dalam mencapai standar JMA Syariah hanya dapat terwujud apabila ketiga pilar ini dijalankan secara simultan dan berkelanjutan. Tiga pilar tersebut adalah Kepatuhan Syariah, Amanah, dan Mutu (Kualitas).
Pilar ini merupakan landasan normatif. Kepatuhan Syariah memastikan bahwa semua kegiatan operasional, mulai dari sumber pendanaan, proses produksi, hingga distribusi dan investasi, bebas dari elemen-elemen yang dilarang dalam Islam. Audit kepatuhan Syariah sangat mendalam, mencakup aspek-aspek yang sering terlewatkan dalam bisnis konvensional.
Kepatuhan ini bukan hanya tentang mematuhi daftar larangan, tetapi juga tentang aktif menjalankan perintah, seperti keadilan dalam penetapan harga dan ketepatan dalam timbangan dan takaran.
Amanah adalah dimensi moral dan etika dari JMA Syariah. Ini melibatkan kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders)—pelanggan, karyawan, investor, dan masyarakat luas. Amanah menuntut bahwa informasi keuangan disajikan secara jujur, risiko diungkapkan secara transparan, dan janji dipenuhi tepat waktu.
Dalam konteks bisnis, Amanah diwujudkan melalui:
Mutu memastikan bahwa produk atau layanan yang ditawarkan tidak hanya sah secara Syariah, tetapi juga memiliki kualitas yang tinggi dan berdaya saing. Islam menekankan pada ihsan (kesempurnaan) dalam segala pekerjaan. JMA Syariah menolak produk yang dibuat dengan bahan di bawah standar atau layanan yang tidak profesional, meskipun secara formal transaksinya Syariah-compliant.
Pilar Mutu meliputi:
Ketika ketiga pilar ini bekerja harmonis—Kepatuhan memastikan keabsahan, Amanah menjamin etika, dan Mutu menjamin daya saing—maka terciptalah JMA Syariah sejati yang menjadi keunggulan kompetitif unik di pasar global.
Sektor keuangan, termasuk perbankan Syariah dan asuransi Syariah (Takaful), adalah area di mana penerapan JMA Syariah paling ketat dan krusial. Kegagalan dalam menjamin amanah dan mutu di sektor ini dapat merusak kepercayaan publik secara luas dan masif.
Dalam perbankan Syariah, JMA Syariah diwujudkan melalui sistem pembagian risiko dan keuntungan yang adil. Bank bertindak sebagai mitra atau agen, bukan sekadar kreditur. Ini menuntut tingkat transparansi yang jauh lebih tinggi daripada bank konvensional. Penerapan JMA di perbankan mencakup:
JMA Syariah mengharuskan manajemen risiko yang tidak hanya berfokus pada risiko kredit atau likuiditas, tetapi juga risiko ketidakpatuhan Syariah. Risiko ketidakpatuhan dapat mencakup penerbitan produk yang mengandung elemen *gharar* tersembunyi, atau implementasi akad yang salah. Auditor Syariah (Dewan Pengawas Syariah/DPS) harus memiliki akses penuh dan independensi untuk memverifikasi setiap transaksi besar dan struktur produk baru.
Pengelolaan dana nasabah, khususnya dana investasi (seperti pada akad Mudharabah), memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi. Nasabah yang menaruh dananya berharap bahwa bank telah melakukan uji tuntas (due diligence) yang maksimal pada proyek-proyek yang dibiayai. Kegagalan proyek harus disebabkan oleh risiko bisnis murni, bukan oleh kelalaian atau penipuan (kurangnya Amanah) dari pihak bank. JMA Syariah memastikan bahwa proses analisis kelayakan proyek (feasibility study) dilakukan dengan Mutu tertinggi.
Sebuah bank yang menerapkan JMA Syariah harus secara jelas mengkomunikasikan bagaimana keuntungan (atau kerugian) dibagi, bagaimana dana dialokasikan, dan berapa biaya manajemen yang dikenakan. Nasabah memiliki hak penuh untuk memahami anatomi keuangannya. Kurangnya transparansi dalam perhitungan bagi hasil adalah bentuk pelanggaran Amanah yang dapat menimbulkan keraguan dan kekecewaan, bahkan jika transaksi dasarnya sah secara Syariah.
Penerapan teknologi modern, seperti blockchain atau sistem akuntansi terdistribusi, semakin dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi, memungkinkan nasabah melacak pergerakan dananya secara hampir real-time, memenuhi tuntutan Mutu dan Amanah di era digital.
Dalam Takaful, JMA Syariah sangat vital karena modelnya didasarkan pada konsep *ta’awun* (tolong-menolong) dan bukan transfer risiko untuk keuntungan (seperti asuransi konvensional). Mutu dan Amanah di Takaful diukur dari bagaimana dana kontribusi (tabarru’) dikelola dan dibagikan.
Dana *tabarru’* (dana gotong royong) harus dikelola secara terpisah dari dana operasional perusahaan (pemegang saham). JMA Syariah menuntut bahwa perusahaan Takaful harus berinvestasi hanya pada aset yang Halal dan etis, memastikan tidak ada pencampuran dana haram. Mutu investasi diukur dari kepatuhan terhadap prinsip *maqashid syariah* (tujuan syariah), yaitu menjaga harta dan jiwa.
Amanah paling teruji saat proses klaim. Perusahaan Takaful harus memproses klaim secara cepat, adil, dan transparan. Menunda klaim yang valid atau mencari-cari alasan untuk menolak pembayaran adalah pelanggaran berat terhadap Amanah dan prinsip tolong-menolong yang menjadi dasar Takaful itu sendiri. JMA Syariah mewajibkan adanya standar operasional prosedur (SOP) klaim yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kedua sub-sektor ini, JMA Syariah berfungsi sebagai filter ganda: pertama, menyaring ketidakpatuhan Syariah; kedua, menyaring praktik bisnis yang tidak etis atau standar kualitas yang rendah, memastikan bahwa institusi keuangan Islam benar-benar menjadi alternatif yang unggul dan terpercaya.
Penerapan JMA Syariah di sektor riil, khususnya manufaktur, perdagangan, dan pengelolaan rantai pasok (supply chain), adalah dimensi yang sangat kompleks namun esensial. Konsumen menuntut jaminan menyeluruh, dari bahan baku (hulu) hingga produk akhir (hilir), yang semuanya harus memenuhi kriteria Mutu dan Amanah Syariah.
JMA Syariah mengharuskan perusahaan manufaktur tidak hanya menggunakan bahan baku Halal, tetapi juga memastikan proses produksinya bersih (thayyib) dan ramah lingkungan. Mutu di sini mencakup keandalan produk, durabilitas, dan ketiadaan cacat tersembunyi yang dapat merugikan konsumen.
Audit JMA Syariah di pabrik melangkah lebih jauh dari sekadar audit Halal standar. Ia memeriksa integritas fasilitas: apakah ada risiko kontaminasi silang (cross-contamination) dari bahan non-Halal atau bahkan bahan berbahaya (non-Tayyib). Ia juga menilai etika dalam penggunaan sumber daya, termasuk air dan energi, yang merupakan bagian dari Amanah lingkungan.
Prinsip Amanah dalam manufaktur mewajibkan perusahaan untuk merancang produk yang benar-benar bermanfaat. Produksi yang boros, atau sengaja dirancang untuk cepat rusak (*planned obsolescence*), dianggap bertentangan dengan prinsip Syariah tentang pemanfaatan sumber daya secara bijak (*Israf*). JMA Syariah mendorong model ekonomi sirkular, di mana produk dirancang untuk didaur ulang atau memiliki umur pakai yang panjang, mencerminkan Mutu yang hakiki.
Integritas rantai pasok adalah tantangan terbesar di pasar global. JMA Syariah menuntut visibilitas penuh terhadap setiap pergerakan barang, memastikan bahwa produk tidak melewati titik-titik transfer yang dapat melanggar prinsip Syariah atau menurunkan Mutu.
Di sektor perdagangan, JMA Syariah berpusat pada kejujuran dalam deskripsi produk, penetapan harga, dan pemenuhan janji layanan purna jual.
Pedagang dilarang menyembunyikan cacat produk atau membesar-besarkan manfaat produk (Tadlis). JMA Syariah mewajibkan pengungkapan penuh (full disclosure). Contohnya, dalam penjualan real estat Syariah, pengembang harus secara transparan mengungkapkan semua risiko yang terkait dengan pembangunan dan status hukum lahan.
Garansi dan layanan purna jual bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga Amanah Syariah. Memastikan bahwa layanan perbaikan atau penggantian dilakukan dengan cepat, efisien (Mutu), dan tanpa biaya tersembunyi (Amanah) adalah indikator utama keberhasilan JMA Syariah di sektor layanan.
Dalam skala yang lebih luas, JMA Syariah di sektor riil membentuk ekosistem yang berkelanjutan, di mana keuntungan finansial didapatkan melalui pelayanan yang jujur dan produk yang unggul, menciptakan kepercayaan jangka panjang yang jauh lebih berharga daripada keuntungan sesaat dari praktik yang curang atau tidak etis.
Filosofi Mutu dalam JMA Syariah berakar pada konsep ‘itqan’ atau pengerjaan dengan tingkat ketelitian dan kesempurnaan tertinggi. Ini menolak mentalitas ‘asal jadi’ atau standar minimum. Bagi entitas yang mengadopsi JMA Syariah, kualitas adalah refleksi spiritualitas.
Untuk memastikan bahwa JMA Syariah bukan hanya jargon, diperlukan mekanisme pengawasan yang independen, ketat, dan berkelanjutan. Proses verifikasi ini melibatkan multi-tingkat pengawasan, mulai dari internal perusahaan hingga lembaga eksternal independen.
DPS adalah jantung dari pengawasan JMA Syariah, khususnya di institusi keuangan. Anggota DPS adalah ulama atau pakar Syariah yang bertugas memastikan seluruh aspek operasional sesuai dengan fatwa yang berlaku. Dalam konteks JMA Syariah, peran DPS meluas:
Independensi DPS sangat penting. Mereka harus bebas dari tekanan manajemen untuk mempertahankan integritas Amanah mereka.
Setiap entitas yang mengklaim JMA Syariah harus memiliki Sistem Kontrol Kualitas (SKK) internal yang kuat. Audit internal bertanggung jawab untuk menguji secara rutin proses kerja dan hasilnya terhadap standar Mutu yang telah ditetapkan. Dalam konteks Syariah, ini berarti memasukkan parameter Halal dan etika ke dalam setiap daftar periksa kualitas.
Contohnya, di perusahaan jasa, SKK JMA Syariah harus menilai waktu respons pelayanan, tingkat kepuasan pelanggan, dan tingkat akurasi informasi yang diberikan, memastikan bahwa tidak ada informasi menyesatkan yang disampaikan (melanggar Amanah).
Lembaga sertifikasi independen memainkan peran sebagai validator eksternal. Sertifikasi JMA Syariah membutuhkan lebih dari sekadar sertifikat Halal; ia memerlukan penilaian holistik terhadap:
Proses sertifikasi ini biasanya bersifat siklus, dengan re-sertifikasi berkala yang lebih ketat, menjamin bahwa kepatuhan Syariah dan standar Mutu adalah komitmen yang terus-menerus, bukan pencapaian sekali jalan.
Mekanisme verifikasi yang berlapis ini memastikan bahwa setiap klaim ‘Syariah’ atau ‘Halal’ didukung oleh bukti operasional yang konkret, meminimalkan ruang bagi praktik ‘syariah-washing’ (hanya menggunakan label tanpa implementasi substansial).
Meskipun kerangka JMA Syariah memberikan panduan yang jelas, implementasinya di dunia nyata menghadapi sejumlah tantangan, terutama di tengah revolusi digital dan kompleksitas ekonomi global. Mengatasi tantangan ini akan menentukan keberhasilan JMA Syariah di masa depan.
Ekonomi digital membawa risiko baru terhadap Amanah. Platform *Fintech Syariah* (Teknologi Keuangan Syariah) harus berjuang untuk memastikan algoritma dan penggunaan data mereka transparan dan tidak bias. JMA Syariah harus beradaptasi untuk:
JMA Syariah harus mendorong pengembangan standar teknologi yang secara inheren etis dan patuh Syariah, bukan sekadar mencoba menambal teknologi konvensional dengan aturan Syariah.
Saat ini, terdapat keragaman interpretasi dan standar JMA Syariah antar negara. Perbedaan ini menciptakan hambatan dalam perdagangan dan investasi lintas batas. Arah masa depan JMA Syariah adalah mencapai harmonisasi standar internasional yang diakui secara luas, memungkinkan produk atau layanan yang tersertifikasi JMA di satu yurisdiksi dapat dipercaya sepenuhnya di yurisdiksi lain.
Organisasi internasional, seperti AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions), terus berupaya menyusun standar yang lebih ketat dan komprehensif, mencakup aspek Mutu dan Amanah yang lebih dalam, melampaui sekadar kriteria kepatuhan dasar.
JMA Syariah memiliki potensi besar untuk menjadi kerangka unggul dalam investasi etis dan berkelanjutan. Prinsip Amanah secara alami mencakup tanggung jawab lingkungan (E), sosial (S), dan tata kelola (G).
JMA Syariah memastikan bahwa entitas tidak hanya mencari laba, tetapi juga menciptakan nilai positif. Perusahaan yang bersertifikasi JMA harus menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan limbah yang bertanggung jawab (Mutu Lingkungan), keadilan sosial (Amanah Karyawan), dan tata kelola perusahaan yang transparan (Amanah Investor). Ini memposisikan JMA Syariah sebagai standar etika tertinggi yang relevan bagi investor global yang peduli pada isu keberlanjutan.
Di masa depan, JMA Syariah akan menjadi tolok ukur utama. Bukan hanya pasar Muslim yang mencari kepatuhan, tetapi juga pasar global yang mencari integritas dan model bisnis yang tahan terhadap krisis moral. Entitas yang mampu mempertahankan dan membuktikan JMA Syariah yang kokoh akan menjadi pemimpin dalam ekonomi baru yang didorong oleh kepercayaan dan etika.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman JMA Syariah, kita perlu menyelami dimensi filosofis di baliknya. JMA Syariah adalah implementasi dari konsep ekonomi *Rabbani*—ekonomi yang berorientasi pada ketuhanan—di mana setiap tindakan bisnis dihitung sebagai ibadah.
Dalam hukum sekuler, Amanah (kepercayaan) seringkali diartikan sebagai kewajiban yang terbatas oleh klausul kontrak yang tertulis. Sebaliknya, dalam JMA Syariah, Amanah adalah kewajiban yang bersifat moral, etis, dan spiritual, yang melampaui batas-batas hukum positif. Ini berarti bahwa jika suatu tindakan secara teknis legal namun melanggar semangat keadilan dan kejujuran, ia tetap dianggap melanggar Amanah Syariah.
Contoh nyata dari perluasan Amanah ini adalah dalam praktik tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bagi JMA Syariah, CSR bukan sekadar kegiatan filantropi opsional, melainkan kewajiban integral yang memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak merugikan komunitas atau lingkungan. Prinsip ini menegaskan bahwa penggunaan sumber daya alam dan tenaga kerja adalah Amanah dari Allah SWT, dan harus dikelola dengan penuh kehati-hatian (Mutu).
Mutu, dalam konteks JMA Syariah, didefinisikan oleh konsep *Ihsan*, yang berarti melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, seolah-olah kita melihat Tuhan, dan jika kita tidak melihat-Nya, Dia pasti melihat kita. Ihsan menolak mediokritas. Mutu harus menjadi standar, bukan pengecualian.
Penerapan Ihsan dalam bisnis menuntut pengembangan keahlian yang sangat tinggi (profesionalisme) dan komitmen terhadap perbaikan berkelanjutan (kaizen). Sebuah produk bersertifikat JMA tidak boleh hanya ‘cukup baik’ atau ‘sekadar Halal’, tetapi harus unggul dalam desain, fungsionalitas, dan durabilitas dibandingkan pesaingnya di pasar, sehingga menjadi pilihan yang lebih baik bagi konsumen.
Ketiga pilar JMA Syariah beroperasi dalam siklus yang saling menguatkan. Kepatuhan Syariah menjamin legitimasi, Amanah menjamin niat baik dan integritas moral, dan Mutu menjamin pelaksanaan yang sempurna. Tanpa Mutu, sebuah transaksi yang sah secara Syariah mungkin gagal di pasar karena produknya di bawah standar. Tanpa Amanah, bahkan produk yang berkualitas tinggi (Mutu) dapat menyebabkan kerugian jika produsen curang dalam hal harga atau bahan tersembunyi. Tanpa Kepatuhan Syariah, Amanah dan Mutu kehilangan landasan etika Islamnya.
Sinergi ini menciptakan model bisnis yang berorientasi pada nilai jangka panjang, di mana profitabilitas dicapai bukan dengan mengeksploitasi kelemahan konsumen atau sistem, tetapi melalui penciptaan nilai sejati yang didasarkan pada kebenaran dan keunggulan. Inilah yang membuat JMA Syariah menjadi kerangka kerja yang kuat dalam membangun ekosistem ekonomi yang adil, stabil, dan berkelanjutan secara fundamental.
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa JMA Syariah adalah lebih dari sekadar seperangkat aturan; ia adalah sebuah cara pandang, sebuah komitmen untuk menjalankan seluruh dimensi kehidupan ekonomi dengan kesadaran penuh akan pertanggungjawaban di hadapan Ilahi. Penerapan JMA Syariah yang paripurna adalah jembatan menuju kesejahteraan material (*falah*) dan spiritual bagi seluruh pemangku kepentingan.
Dampak JMA Syariah tidak terbatas pada level perusahaan. Ketika diterapkan secara luas, ia memiliki efek transformatif pada struktur sosial dan stabilitas makroekonomi suatu negara.
Kepercayaan (*tsiqah*) adalah mata uang paling berharga dalam ekonomi Islam. Krisis keuangan global seringkali berakar pada hilangnya kepercayaan akibat kurangnya transparansi dan praktik spekulatif. JMA Syariah, dengan penekanan absolutnya pada Amanah dan transparansi, secara efektif membangun kembali fondasi kepercayaan antara pelaku pasar, antara perusahaan dan konsumen, serta antara pemerintah dan masyarakat.
Dalam ekosistem JMA Syariah, biaya transaksi menurun karena kebutuhan untuk verifikasi pihak ketiga berkurang. Konsumen dan investor merasa lebih aman karena mereka tahu bahwa standar Mutu dan etika telah dijamin oleh sistem yang independen dan berlandaskan agama. Ini mempercepat investasi dan konsumsi yang produktif.
JMA Syariah mendorong model bisnis yang inklusif. Larangan *riba* dan penekanan pada kontrak berbasis aset riil memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu, tetapi terdistribusi secara adil. Ketika perusahaan menerapkan Amanah secara menyeluruh, ini berarti pembayaran yang adil kepada pemasok skala kecil, investasi yang etis di daerah pedesaan, dan penciptaan lapangan kerja yang stabil dan bermartabat (Mutu pekerjaan).
Selain itu, JMA Syariah mengintegrasikan mekanisme kesejahteraan seperti *zakat* dan *wakaf* ke dalam struktur keuangannya. Institusi yang bersertifikat JMA harus memiliki sistem yang transparan dan efisien untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana sosial ini (Amanah sosial), memastikan bahwa dana tersebut mencapai penerima yang berhak dengan efektivitas maksimum (Mutu pengelolaan).
Ekonomi yang didasarkan pada prinsip JMA Syariah cenderung lebih stabil dan resisten terhadap guncangan ekonomi. Hal ini karena mereka menghindari instrumen keuangan yang spekulatif, berbasis hutang berlebihan, dan kompleks. Fokus pada aktivitas ekonomi riil, yang dijamin oleh Mutu produk dan layanan, memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi didukung oleh aset yang substansial, bukan sekadar janji-janji finansial yang rapuh. Dalam krisis, entitas JMA Syariah seringkali menunjukkan daya tahan yang lebih baik karena landasan modal dan operasinya didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan keadilan.
JMA Syariah adalah cetak biru untuk peradaban ekonomi yang lebih baik. Ia mentransformasikan kompetisi pasar dari sekadar perebutan pangsa pasar menjadi kompetisi dalam memberikan pelayanan yang unggul (Mutu) dan kejujuran yang maksimal (Amanah), menghasilkan manfaat ekonomi yang meluas dan berkesinambungan bagi seluruh umat manusia.
Mencapai JMA Syariah menuntut tingkat ketelitian yang ekstrem dalam memahami dan menghindari larangan utama dalam fiqh muamalat. Seringkali, perusahaan gagal dalam JMA karena mengabaikan detail tersembunyi dari *gharar* atau *riba* dalam struktur kontrak yang rumit.
*Gharar* tidak hanya mencakup ketidakpastian dalam objek kontrak, tetapi juga ketidakjelasan dalam waktu penyerahan, harga, dan bahkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. JMA Syariah menuntut empat tingkat kejelasan:
Dalam layanan, penghindaran *gharar* berarti kontrak layanan harus sangat jelas mengenai apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam biaya jasa, menghindari biaya tersembunyi yang menjadi pelanggaran Amanah finansial.
JMA Syariah di sektor keuangan memastikan bahwa semua pengembalian dana didasarkan pada risiko dan keuntungan yang dibagi bersama, sesuai dengan prinsip *al-ghunm bil-ghurm* (mendapat keuntungan karena menanggung risiko).
Untuk mencapai JMA Syariah, institusi harus:
Kepatuhan JMA Syariah yang mendalam terhadap detail *gharar* dan *riba* adalah apa yang membedakan operasional Syariah yang sejati dari sekadar penamaan ulang produk konvensional. Ia menuntut keahlian teknis (Mutu) yang luar biasa dari para praktisi keuangan Syariah untuk merancang solusi yang bersih, adil, dan transparan (Amanah).