Di jagat otomotif, beberapa nama berhasil mengukir sejarah bukan hanya karena kecepatan, tetapi karena filosofi di balik mesinnya. Salah satu ikon sejati dari era kejayaan mobil sport Jepang adalah Mazda RX-7. Namun, ketika kita berbicara tentang "RX7 RR4", kita merujuk pada puncak evolusi desain dan performa yang sering kali dikaitkan dengan generasi ketiga (FD3S) yang disempurnakan, atau representasi ideal dari apa yang diinginkan penggemar dari platform rotary. Angka "RR4" mungkin bukan kode sasis resmi, namun ia telah menjadi sinonim di kalangan purist untuk RX-7 generasi akhir yang paling matang dan penuh gairah.
Mesin Wankel rotary adalah jantung dari setiap RX-7. Tidak seperti mesin piston konvensional, mesin ini menawarkan rasio tenaga-terhadap-bobot yang luar biasa, getaran yang halus, dan kemampuan berputar hingga RPM yang sangat tinggi. Generasi ketiga RX-7 (FD3S), yang sering diidentikkan dengan istilah "RR4" dalam konteks modernisasi dan modifikasi, membawa desain aerodinamis yang revolusioner. Bentuknya yang membulat dan ramping, jauh dari sudut tajam pendahulunya, menjadikannya mobil yang tampak futuristik bahkan hingga hari ini.
Yang membuat RX-7, terutama versi twin-turbocharged 13B-REW, begitu dicintai adalah keseimbangan dan handlingnya. Dengan penempatan mesin yang sangat rendah dan berada di belakang poros roda depan (front-midship), distribusi bobotnya mendekati sempurna, sering kali mencapai 50:50. Ini memberikan mobil ini kemampuan menikung yang tajam dan responsif yang sulit ditandingi oleh mobil sekelasnya pada era 90-an. Meskipun tenaga puncaknya mungkin tidak sefantastis mobil modern, torsi yang dihasilkan pada putaran menengah hingga atas memberikan pengalaman berkendara yang sangat linear dan memuaskan.
Konfigurasi "RR4" juga sering diasosiasikan dengan upaya meningkatkan reliabilitas mesin rotary, sebuah kritik yang sering dilontarkan terhadap platform ini. Meskipun demikian, komunitas penggemar telah berhasil menguak rahasia perawatan dan modifikasi yang dapat membuat mesin ini bertahan lama, selama pemiliknya memahami kebutuhan spesifiknya—terutama mengenai pelumasan dan pendinginan yang optimal.
Secara estetika, RX-7 generasi ketiga adalah karya seni yang terinspirasi oleh pesawat jet dan mobil sport klasik. Lampu depannya yang dapat tersembunyi (pop-up) menambah sentuhan nostalgia sekaligus menjaga aerodinamika tetap mulus saat ditutup. Interiornya berorientasi pada pengemudi, dengan dasbor yang melengkung elegan mengelilingi pengemudi dan penumpang depan, menciptakan kokpit yang terasa intim.
Meskipun Mazda telah menggantikan RX-7 dengan RX-8 (yang menggunakan mesin Renesis yang lebih fokus pada emisi dan tidak menggunakan turbocharger), permintaan untuk RX-7 orisinal terus meroket. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional antara penggemar dan mobil bermesin rotary turbocharger terakhir dari Mazda. RX7 RR4 bukan sekadar mobil; ia adalah penanda era ketika pabrikan berani mengambil risiko teknik yang radikal demi mengejar performa murni dan desain yang tak lekang oleh waktu. Mobil ini tetap menjadi tolok ukur dalam dunia mobil sport Jepang yang menghargai sensasi berkendara di atas segala aspek lainnya. Penggemar sejati memahami bahwa mengendarai RX-7 adalah sebuah ritual, sebuah komitmen terhadap keunikan rekayasa otomotif.
Saat ini, menemukan RX-7 dalam kondisi orisinal atau yang telah direstorasi dengan baik menjadi tantangan tersendiri, terutama di pasar mobil bekas. Harga yang melonjak mencerminkan kelangkaan dan status ikoniknya. Bagi mereka yang mencari pengalaman "RR4", tantangannya adalah menjaga agar mesin rotary tetap sehat. Mesin ini menuntut perhatian pada setiap detail—dari kualitas oli hingga pemantauan suhu secara konstan. Namun, bagi para penganutnya, suara serak yang unik pada RPM tinggi dan rasa keterhubungan langsung dengan mesin adalah imbalan yang sepadan dengan segala usaha dan biaya perawatannya. RX-7 adalah mobil untuk pengemudi, bukan hanya penumpang.