Ilustrasi simbolis mengenai bencana dan peringatan.
Kisah kaum Sodom dan Gomora adalah salah satu narasi paling dramatis dalam kitab-kitab suci, menjadi pelajaran abadi tentang konsekuensi perilaku menyimpang dan murka Tuhan. Fokus utama dari kisah ini sering kali terpusat pada bagaimana siksa Allah kepada kaum Sodom datang pada waktu yang tidak mereka duga, sekaligus menunjukkan kekuasaan mutlak Sang Pencipta.
Kaum Sodom dikenal karena kemaksiatan mereka yang ekstrem, khususnya dalam hal penyimpangan seksual dan keangkuhan terhadap tamu serta hukum moral dasar. Nabi Luth diutus untuk membimbing mereka, namun ajakan untuk bertobat selalu ditolak mentah-mentah. Penolakan ini bukan sekadar ketidaksetujuan, melainkan bentuk kesombongan yang menantang otoritas ilahi.
Pesan yang dibawa oleh para nabi selalu jelas: perubahan perilaku atau menerima azab. Kaum Sodom memilih jalur kedua. Ketika utusan Allah (dalam beberapa interpretasi adalah malaikat yang menyamar) datang untuk menyelamatkan Nabi Luth dan keluarganya, penduduk kota itu malah mengepung rumah Nabi Luth dengan niat jahat. Tindakan ini menjadi titik puncak penolakan terhadap kebenaran dan perlindungan ilahi.
Allah, melalui para utusan-Nya, memberikan peringatan terakhir. Azab yang akan datang bukan hanya sekadar sanksi sosial, melainkan pembalikan total atas lingkungan tempat mereka tinggal. Ini menunjukkan bahwa kesabaran ilahi memiliki batas, dan ketika batas itu dilanggar oleh perilaku yang sangat merusak tatanan kemanusiaan dan alam, intervensi ilahi menjadi keniscayaan.
Salah satu aspek paling menonjol dari kisah ini adalah bagaimana siksa Allah kepada kaum Sodom datang pada waktu yang sangat spesifik, setelah Nabi Luth dan keluarganya berhasil dievakuasi. Mereka diperintahkan untuk tidak menoleh ke belakang saat mereka melarikan diri dari kota. Ini adalah momen krusial—saat mereka berada dalam zona aman yang telah ditentukan oleh kasih karunia, azab itu dilepaskan.
Pagi hari sering kali diasosiasikan dengan awal yang baru, harapan, dan aktivitas. Namun bagi kaum Sodom, pagi hari yang mereka sambut adalah pagi yang membawa malapetaka. Kisah ini menekankan bahwa hukuman ilahi tidak selalu datang di tengah malam atau saat mereka sedang berbuat dosa terang-terangan, tetapi sering kali pada waktu yang secara logis dianggap aman atau biasa, menandakan bahwa pengawasan Ilahi meliputi setiap detik kehidupan mereka.
Azab yang dijatuhkan digambarkan sebagai pembalikan kota-kota tersebut. Gunung berapi, gempa bumi dahsyat, atau hujan batu belerang—terlepas dari interpretasi geologis pastinya—hasilnya adalah kehancuran total. Langit yang biasanya membawa berkah, kini membawa bencana. Kehancuran ini memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tersisa untuk melanjutkan tradisi kebobrokan tersebut.
Istri Nabi Luth menjadi contoh tragis dari keterikatan duniawi. Meskipun diperintahkan untuk tidak menoleh, ia melanggar instruksi tersebut karena kerinduannya pada kaumnya atau harta bendanya yang tertinggal. Ia berubah menjadi tiang garam, simbol kekakuan dan penyesalan yang terlambat. Ini memperkuat pelajaran bahwa kepatuhan total terhadap perintah penyelamat adalah mutlak.
Kisah kaum Sodom terus bergema hingga kini. Kisah ini berfungsi sebagai peringatan universal bahwa meskipun sebuah peradaban mungkin terlihat maju, kuat, atau makmur, fondasi moral yang rusak akan menarik kehancuran. Ketika masyarakat melampaui batas-batas etika dasar dan moralitas yang ditetapkan, mereka berada di ambang bahaya.
Pelajaran utamanya adalah tentang kesadaran akan waktu. Jika siksa Allah kepada kaum Sodom datang pada waktu yang terukur setelah penolakan terakhir, ini menyiratkan bahwa ada periode tenggang waktu bagi umat manusia untuk bertobat. Kegagalan memanfaatkan waktu tersebut berarti menerima konsekuensi yang tak terhindarkan. Kisah ini mengajak kita untuk introspeksi, memastikan bahwa gaya hidup kita selaras dengan prinsip kebenaran, sebelum 'waktu' yang ditentukan itu tiba bagi siapapun.
Oleh karena itu, narasi Sodom bukan hanya catatan sejarah masa lalu, melainkan cermin masa kini yang menuntut pertanggungjawaban moral kolektif.