Refleksi Tugas dan Tanggung Jawab Duniawi: Azab Kubur Bagi Pelaku Dosa

Jabatan Tinggi dengan Beban Berat: Kepala Cabang Bank Konvensional

Dalam struktur organisasi perbankan konvensional, posisi kepala cabang sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian karier di tingkat operasional. Jabatan ini membawa serta wewenang besar, tanggung jawab finansial yang signifikan, dan tentu saja, gaji serta fasilitas yang menggiurkan. Namun, di balik gemerlapnya kesuksesan duniawi ini, tersembunyi tanggung jawab moral dan spiritual yang sangat besar. Tugas seorang kepala cabang tidak hanya sebatas mengejar target kredit atau menjaga aset, tetapi juga mengawasi segala transaksi yang dilakukan, termasuk potensi praktik-praktik yang melanggar prinsip syariah atau bahkan hukum positif jika ada unsur penipuan.

Di sinilah titik temu antara ambisi dunia dan pertanggungjawaban akhirat menjadi krusial. Dalam pandangan banyak ajaran agama, khususnya Islam, bekerja di lembaga keuangan konvensional yang berbasis riba (bunga) membawa risiko spiritual yang tinggi. Jika seorang kepala cabang secara sadar memimpin dan memfasilitasi transaksi yang dilarang, atau menutup mata atas penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi atau pencapaian target instansi, konsekuensinya tidak hanya akan terasa di dunia karir, tetapi juga di alam baka.

T

Ilustrasi representasi tanggung jawab dan perhitungan

Pertanggungjawaban di Alam Barzakh

Konsep azab kubur, atau siksa kubur (adzab al-qabr), adalah keyakinan mendalam bahwa setelah kematian, ruh akan menghadapi pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam liang lahat. Pertanyaan-pertanyaan ini berpusat pada keimanan (Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?) serta amal perbuatan yang dilakukan semasa hidup. Bagi seorang pemimpin seperti kepala cabang bank, pertanyaannya meluas, mencakup bagaimana ia menggunakan amanah kekuasaan finansial yang diberikan kepadanya.

Apakah kekayaan yang dikumpulkan berasal dari sumber yang halal sepenuhnya? Apakah keputusan bisnis yang diambil selalu menjunjung tinggi keadilan dan menghindari praktik zalim seperti penindasan nasabah kecil demi keuntungan besar? Setiap rupiah yang diproses di bawah kepemimpinannya akan menjadi saksi di hadapan Sang Pencipta.

Jika selama hidupnya seorang kepala cabang terbiasa mengambil keputusan berdasarkan untung rugi duniawi tanpa mempertimbangkan dimensi akhirat—misalnya terlibat dalam kasus suap, pemalsuan dokumen kredit, atau membiarkan praktik riba merajalela—maka kuburan akan menjadi tempat yang sangat sempit dan penuh cobaan. Tekanan pertanyaan malaikat akan diperparah oleh beban dosa dari setiap transaksi ilegal atau tidak etis yang pernah ia setujui atau biarkan terjadi. Bayangan dari aset-aset bank yang dikelolanya tidak akan mampu memberikan perlindungan di sana.

Riba dan Dampaknya yang Tak Terhindarkan

Salah satu isu sentral dalam perbankan konvensional adalah sistem bunga (riba). Dalam banyak literatur keagamaan, riba dikategorikan sebagai dosa besar yang perhitungannya sangat ketat di akhirat. Kepala cabang, sebagai operator utama di lini depan bank konvensional, memiliki peran langsung dalam memastikan sistem bunga terus berputar. Ia bertanggung jawab atas strategi pemasaran produk berbasis bunga dan manajemen risiko terkait hal tersebut.

Bila amalan baiknya (misalnya, memberikan bantuan sosial secara ikhlas) tertutupi oleh akumulasi dosa dari praktik ribawi yang ia pimpin, maka ringannya hisab di alam kubur menjadi sangat diragukan. Kubur tidak mengenal status sosial; ia tidak peduli seberapa besar kantor yang dimiliki atau berapa banyak anak buah yang melayani. Yang dinilai hanyalah ketulusan iman dan kebersihan harta serta amal.

Menjadikan Jabatan sebagai Ladang Amal

Meskipun risiko spiritual di bank konvensional tinggi, ini tidak berarti setiap individu di dalamnya otomatis mendapat azab. Ada ruang untuk perbaikan dan pertobatan. Seorang kepala cabang yang menyadari posisinya bisa memilih untuk menggunakan jabatannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini bisa dilakukan dengan mendorong program keuangan mikro yang adil, mengadvokasi produk yang lebih etis (jika memungkinkan dalam korporasi), atau yang paling penting, memastikan bahwa setiap keuntungan yang ia terima adalah murni dari usaha yang diridhai.

Kepala cabang yang bijaksana akan senantiasa menjaga integritasnya, menolak praktik korup, dan menggunakan pengaruhnya untuk menegakkan keadilan. Ia memahami bahwa jabatan dan kekayaan duniawi hanyalah titipan sesaat. Ketika pintu kubur terbuka, harta tidak bisa dibawa, dan jabatan akan dilepaskan. Yang tersisa hanyalah pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diambil saat memegang amanah tersebut. Kegagalan dalam menunaikan amanah ini, terutama dalam konteks finansial yang penuh godaan, adalah benih bagi kesempitan dan penderitaan di alam penantian barzakh. Oleh karena itu, refleksi mendalam mengenai akhirat harus selalu mendampingi setiap langkah profesional di puncak karier perbankan.

🏠 Homepage