Melaksanakan ibadah umroh adalah impian besar bagi setiap Muslim. Momen berada di Tanah Suci, melihat Ka'bah secara langsung, dan melaksanakan ritual suci adalah pengalaman spiritual yang tak ternilai. Namun, di balik kemuliaan ibadah ini, terdapat tanggung jawab besar untuk menjaga kesucian niat dan perilaku. Kisah mengenai potensi azab saat umroh seringkali menjadi pengingat serius bahwa Tanah Haram bukanlah tempat untuk main-main atau melanggar batasan syariat.
Inti dari ibadah umroh adalah pengabdian murni kepada Allah SWT. Ketika seseorang berniat umroh, ia telah memasuki fase ihram, baik secara fisik maupun spiritual. Gangguan sekecil apapun terhadap keikhlasan, seperti munculnya riya’ (pamer) atau melakukan perbuatan yang mengurangi kesucian ibadah, dapat mengurangi bobot pahala. Kisah-kisah yang berkembang di masyarakat seringkali menekankan bahwa 'azab' di sini tidak selalu berarti siksa fisik yang tiba-tiba, melainkan bisa berupa terhalangnya penyempurnaan ibadah atau kembalinya seseorang dengan hati yang lebih keras.
Sebagai contoh, ada cerita populer mengenai seorang jamaah yang terlihat sangat khusyuk, namun ternyata niatnya tersembunyi untuk pamer kekayaan atau kesalehan di mata orang lain. Ketika ia kembali ke tanah air, musibah seolah tak henti datang. Meskipun sulit membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung, pelajaran yang bisa diambil adalah betapa pentingnya membersihkan hati dari segala unsur yang tidak diridhoi Allah.
Larangan-larangan dalam ihram, seperti memotong rambut, menggunakan wewangian, atau melakukan hubungan suami istri, harus dipatuhi secara ketat. Pelanggaran terhadap larangan ini di dunia mengharuskan adanya denda (fidyah), namun pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran seringkali dikaitkan dengan isu azab saat umroh berupa kegagalan ibadah yang harus diulang.
Salah satu bentuk pelanggaran yang paling disoroti adalah terkait perilaku seksual atau tindakan asusila di sekitar Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Tanah suci adalah tempat berkumpulnya jutaan umat yang sedang beribadah. Perilaku yang tidak pantas di tempat tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap kesucian Baitullah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa mereka yang melakukan hal tersebut bisa mengalami gangguan fisik selama di sana, mulai dari sakit mendadak hingga pengalaman spiritual yang menakutkan, sebagai bentuk teguran keras dari Allah.
Umroh adalah ajang pelatihan kesabaran dan kerendahan hati. Jutaan orang dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan ras berkumpul dalam satu keseragaman pakaian ihram. Fenomena saling dorong, berebut tempat, atau bahkan mencela sesama jamaah adalah hal yang sering terjadi, terutama saat musim haji atau umroh ramai.
Teguran keras seringkali datang kepada mereka yang menunjukkan kesombongan. Misalnya, menolak membantu jamaah lansia, bersikap kasar kepada petugas, atau menggunakan status sosialnya untuk mendapatkan fasilitas yang tidak semestinya. Kerendahan hati adalah kunci utama ibadah ini. Jika seseorang datang untuk menyucikan diri namun membawa kesombongan, ia akan pulang tanpa membawa apa-apa selain kelelahan fisik. Ketidaknyamanan yang dialami selama perjalanan, seperti kehilangan barang atau sakit ringan, bisa dianggap sebagai 'azab' kecil yang mengingatkan agar selalu bersikap tawadhu’.
Pada akhirnya, pembahasan mengenai azab saat umroh seharusnya tidak dijadikan alat untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai pengingat akan keagungan dan kebesaran Allah SWT. Tanah Suci dijaga kesuciannya, dan siapa pun yang diizinkan beribadah di sana harus menjalankannya dengan penuh rasa hormat.
Setiap jamaah harus memastikan empat hal utama: keikhlasan niat, pemahaman akan rukun dan wajib umroh, kepatuhan terhadap larangan ihram, dan akhlakul karimah. Dengan menjaga empat pilar ini, perjalanan spiritual menuju Baitullah akan menjadi mabrur, jauh dari bayangan teguran ilahi, dan membawa berkah yang abadi hingga kembali ke kampung halaman.