Ilustrasi simbolis kekikiran.
Dalam dinamika kehidupan berumah tangga, aspek finansial sering kali menjadi titik sensitif. Ketika salah satu pihak, terutama seorang suami, menunjukkan sifat pelit atau kikir yang berlebihan, bukan hanya masalah ekonomi yang muncul, tetapi juga retakan pada fondasi kepercayaan dan kasih sayang. Banyak kisah yang beredar, baik dari pengalaman langsung maupun cerita turun-temurun, yang menggambarkan bagaimana azab suami pelit bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk.
Kikir bukanlah sekadar hemat. Hemat adalah manajemen keuangan yang bijak. Kikir adalah penolakan mendasar untuk berbagi atau memenuhi kebutuhan dasar orang yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk istri dan anak-anak. Seorang suami yang kikir mungkin memiliki harta berlimpah, namun ia merasa terbebani hanya untuk mengeluarkan uang demi kebaikan keluarganya.
Sifat ini sering kali berakar dari rasa takut kehilangan atau ketidakpercayaan terhadap masa depan. Namun, dampaknya pada istri sangat menghancurkan. Rasa tidak dihargai, terisolasi secara emosional, dan bahkan mengalami kesulitan hidup adalah konsekuensi langsung dari kekikiran ini.
Dalam banyak pandangan, sebelum adanya pertanggungjawaban akhirat, azab suami pelit sering terlihat dalam kehidupan duniawi mereka sendiri. Azab ini tidak selalu berupa hukuman fisik yang tiba-tiba, melainkan serangkaian kejadian yang membuat hidup mereka menjadi tidak nyaman dan jauh dari kebahagiaan sejati:
Sebut saja namanya Pak Budi. Ia dikenal sangat sukses di usahanya, namun di rumah, istrinya harus meminta izin hanya untuk membeli sabun cuci piring. Pak Budi selalu mengatakan bahwa istrinya boros. Ia bahkan membatasi jatah listrik agar tagihan bulanan rendah, meskipun ia mampu membeli mobil mewah baru untuk dirinya sendiri.
Suatu ketika, Pak Budi mengalami sakit parah yang memerlukan operasi mendesak. Seluruh uang tunai yang ia simpan erat-erat di brankas tiba-tiba tidak bisa diakses karena sistem keamanan digitalnya mengalami kegagalan total, dan teknisi spesialis yang dibutuhkan sangat mahal—mahal sekali. Dalam kepanikannya, ia terpaksa meminjam dari kerabat dengan bunga tinggi, sebuah ironi besar bagi seorang yang gemar menimbun.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah reaksi anak-anaknya saat pemulihan. Mereka enggan menjenguk karena merasa tidak pernah diperhatikan, kecuali ketika mereka membutuhkan uang untuk keperluan Pak Budi sendiri. Azab suami pelit yang dirasakan Pak Budi adalah kesendirian di masa kritisnya.
Kisah-kisah seperti ini menjadi pengingat keras bahwa tanggung jawab nafkah tidak hanya tentang menyediakan materi, tetapi juga memberikan rasa aman dan cinta. Mengelola keuangan bersama memerlukan transparansi dan niat baik. Istri bukanlah musuh yang harus dikontrol pengeluarannya, melainkan mitra yang harus didukung.
Kehidupan yang berkecukupan adalah anugerah, namun jika diiringi dengan kekikiran hati, anugerah itu berubah menjadi beban berat. Pada akhirnya, harta yang tidak dibagikan dengan niat tulus akan menjadi penghalang terbesar menuju kebahagiaan sejati dalam pernikahan. Mengatasi sifat pelit bukan hanya demi istri dan anak, tetapi demi kedamaian jiwa suami itu sendiri.