Dalam ikatan pernikahan, kejujuran adalah pilar utama yang menopang keutuhan rumah tangga. Sayangnya, tidak sedikit suami yang tergoda untuk membangun kehidupannya di atas serpihan kebohongan, baik kebohongan kecil yang dianggap sepele maupun dusta besar yang mengancam fondasi cinta. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apa dampak jangka panjang dari perilaku ini, dan apakah ada konsekuensi nyata yang disebut "azab" bagi suami yang terus-menerus membohongi istri?
Konsep "azab" dalam konteks kehidupan seringkali tidak selalu berwujud supernatural yang instan. Azab pertama dan yang paling menghancurkan adalah lenyapnya kepercayaan (trust). Ketika seorang istri menemukan bahwa suaminya sering berbohong—mengenai keuangan, pergaulan, atau bahkan perasaan—maka lapisan pelindung dalam pernikahan mulai terkikis. Istri yang tadinya melihat suami sebagai tempat berlindung, kini melihatnya sebagai sumber keraguan.
Kebohongan menciptakan jarak emosional. Setiap dusta yang terucap adalah tembok yang dibangun di antara kedua hati. Suami mungkin berpikir ia bisa menutupi kesalahannya, namun bagi istri, setiap pengungkapan kebenaran (atau penemuan bukti) akan memicu trauma pengkhianatan yang berulang. Keintiman seksual dan emosional akan menurun drastis, meninggalkan suami dalam isolasi di tengah rumahnya sendiri. Inilah bentuk azab pertama: hidup bersama orang yang dicintai namun merasa terasing.
Kebohongan jarang sekali terbatas hanya di dalam kamar tidur. Kebohongan suami terhadap istri sering kali meluas ke ranah publik dan finansial. Misalnya, suami yang berbohong tentang status pekerjaannya atau jumlah utang yang dimiliki. Ketika kebohongan ini terungkap, konsekuensinya bisa sangat nyata: kehancuran reputasi di mata keluarga besar, tuntutan hukum, atau bahkan kesulitan ekonomi yang menyeret seluruh keluarga.
Bagi sebagian wanita, rasa sakit akibat kebohongan suaminya jauh lebih berat daripada kemiskinan materi. Mereka harus menanggung malu karena harus menjelaskan kepada orang lain bahwa suaminya tidak dapat dipercaya. Azab di sini adalah hilangnya kehormatan (martabat) di mata sosial akibat tindakan suami yang tidak jujur.
Seorang istri yang hidup dengan suami pembohong kronis sering kali mengalami tekanan psikologis yang berat. Mereka terus-menerus berada dalam mode "waspada", menganalisis setiap kata dan tindakan suami. Ini dapat memicu kecemasan berlebihan (anxiety), depresi, dan bahkan sindrom stres pasca-trauma (PTSD) dalam konteks hubungan.
Ketika kebenaran tentang kebohongan suami akhirnya terungkap, reaksi istri sangat bervariasi. Ada yang memilih untuk memberi kesempatan kedua, namun proses penyembuhan akan sangat panjang dan membutuhkan komitmen total dari suami untuk bertobat dan membuktikan kejujuran barunya.
Namun, bagi kebohongan yang berulang dan bersifat fundamental, konsekuensinya seringkali fatal. Perceraian menjadi jalan keluar yang paling logis. Dalam Islam, pengkhianatan kepercayaan yang parah seringkali membenarkan pemisahan, karena pernikahan tidak bisa ditegakkan di atas fondasi yang rapuh. Suami yang kehilangan istri dan keluarganya akibat kebohongannya sendiri, harus menghadapi kenyataan bahwa ia sendirilah arsitek dari kehancurannya.
Jika seorang suami menyadari bahwa ia telah terbiasa berbohong, langkah pertama untuk menghindari "azab" penghancuran rumah tangga adalah mengakui masalahnya secara terbuka pada diri sendiri dan, jika memungkinkan, kepada istri. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk menghadapi kebenaran, seketat apa pun rasanya. Integritas adalah mata uang tertinggi dalam hubungan. Tanpa itu, harta, jabatan, atau penampilan luar tidak akan pernah mampu menutupi kekosongan hati seorang istri yang dikhianati oleh orang yang paling ia percayai.