Ilustrasi simbolis kehancuran.
Kisah kaum Sodom dan Gomora merupakan salah satu narasi paling mengguncang dalam kitab suci agama-agama Ibrahimik. Kisah ini tidak hanya mencatat kehancuran dua kota besar di lembah Yordan, tetapi juga menjadi peringatan keras mengenai konsekuensi penyimpangan moral dan penolakan terhadap kebenaran ilahi. Fokus utama dari kisah ini, sebagaimana diceritakan, adalah perbuatan keji dan kebobrokan akhlak yang merajalela di tengah masyarakat mereka.
Secara geografis, Sodom dan Gomora digambarkan berada di area yang subur, yang oleh beberapa penafsir dianggap setara dengan 'taman Tuhan' (Kejadian 13:10). Namun, kesuburan materi dan kemakmuran duniawi tidak serta-merta menjamin keberkahan spiritual. Sebaliknya, kemakmuran itu seolah memperburuk kondisi moral penduduknya. Mereka dikenal dalam catatan kuno bukan hanya karena kekayaan, tetapi juga karena keangkuhan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesusilaan.
Klimaks dari kisah ini terjadi ketika dua malaikat (utusan Tuhan) mengunjungi Nabi Luth (Lot) yang tinggal di Sodom. Kedatangan mereka disambut dengan permintaan penduduk kota yang ingin melakukan perbuatan yang sangat tercela terhadap para tamu tersebut. Tindakan ini melampaui batas toleransi moral dan etika universal, menunjukkan tingkat kerusakan spiritual yang parah. Nabi Luth, yang berusaha melindungi tamu-tamunya, menghadapi ancaman langsung dari massa yang telah dibutakan oleh hawa nafsu dan keangkuhan mereka.
Respons Tuhan terhadap permohonan Nabi Luth dan kondisi kota tersebut adalah sebuah keputusan untuk memberikan azab yang definitif. Sebelum hukuman dijatuhkan, Tuhan mengutus malaikat untuk memperingatkan Nabi Luth dan keluarganya agar segera meninggalkan kota tersebut. Peringatan ini menekankan konsep penting dalam teologi: bahwa meskipun penghakiman akan datang, selalu ada kesempatan bagi mereka yang mau bertobat dan menjauh dari keburukan.
Azab yang menimpa kaum Sodom dan Gomora digambarkan secara dramatis sebagai hujan belerang dan api yang turun dari langit. Peristiwa ini menyebabkan kehancuran total kota-kota tersebut dan seluruh lembah di sekitarnya. Api dan belerang (sulfur) seringkali diinterpretasikan sebagai simbol pemurnian ekstrem melalui panas yang membakar, menghapus segala jejak kebobrokan yang telah mengakar.
Dampak dari azab ini sangat jelas: tidak ada yang selamat kecuali keluarga Nabi Luth yang taat dan sempat keluar tepat waktu. Istri Nabi Luth, yang menoleh ke belakang karena rasa keterikatan pada harta benda atau keraguannya terhadap perintah ilahi, diabadikan dalam narasi sebagai tiang garam—sebuah monumen abadi atas bahaya ketidaktaatan dan keterikatan duniawi saat menghadapi seruan keselamatan.
Kisah azab Sodom berfungsi sebagai cermin reflektif bagi generasi berikutnya. Pesan utamanya adalah bahwa Tuhan sangat menjunjung tinggi keadilan, kesucian, dan moralitas. Kemakmuran materi tidak dapat menjadi tameng dari pertanggungjawaban moral. Keangkuhan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penolakan terang-terangan terhadap norma-norma kesucian akan selalu mendatangkan konsekuensi yang serius.
Penggambaran kehancuran Sodom mengajarkan bahwa integritas moral adalah fondasi utama bagi keberlangsungan suatu masyarakat. Ketika penyimpangan menjadi norma dan peringatan diabaikan, penghakiman—baik dalam bentuk fisik maupun metaforis—akan mengikuti. Kisah ini terus bergema sebagai peringatan keras bahwa setiap peradaban harus senantiasa menjaga nilai-nilai luhur, karena ketiadaan nilai tersebut adalah benih dari keruntuhan yang akan datang.