Ayam Kedu, yang berasal dari daerah Kedu, Jawa Tengah, merupakan salah satu ras ayam lokal Indonesia yang sangat diminati. Keunikan utamanya terletak pada warna hitam pekat yang meliputi seluruh tubuhnya, termasuk kulit, daging, tulang, hingga organ dalam (fibromelanosis). Warna hitam ini seringkali dikaitkan dengan manfaat kesehatan tradisional, menjadikannya komoditas bernilai tinggi baik untuk konsumsi maupun sebagai ayam hias.
Secara umum, ayam Kedu dibagi menjadi beberapa varian berdasarkan postur tubuhnya, seperti Kedu Hitam, Kedu Cemani (yang seluruhnya hitam tanpa ada warna lain), Kedu Merih, dan Kedu Bangkok. Namun, dalam konteks budidaya komersial, fokus seringkali tertuju pada potensi produksi daging dan telur yang stabil, meskipun kecepatan pertumbuhannya cenderung lebih lambat dibandingkan ayam ras pedaging modern.
Budidaya ayam Kedu memerlukan perhatian khusus pada lingkungan untuk memastikan kualitas genetiknya tetap terjaga dan produktivitasnya optimal.
Langkah awal yang krusial adalah mendapatkan bibit DOC (Day Old Chick) yang sehat dan berasal dari indukan yang jelas galur keturunannya. Pastikan DOC memiliki nafsu makan yang baik, aktif bergerak, dan tidak menunjukkan gejala penyakit bawaan. Bibit unggul adalah jaminan keberhasilan jangka panjang.
Kandang ayam Kedu harus dirancang untuk meminimalkan stres dan kelembapan. Meskipun ayam Kedu dikenal tahan banting, sanitasi tetap nomor satu. Gunakan sistem kandang postal atau baterai, tergantung skala usaha. Pastikan ventilasi udara baik, namun terlindungi dari angin kencang langsung. Litter (alas kandang) harus dijaga tetap kering untuk mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur penyebab koksidiosis atau infeksi pernapasan.
Pemberian pakan harus disesuaikan dengan fase pertumbuhan. Pada masa starter (0-8 minggu), ayam membutuhkan pakan dengan protein tinggi (sekitar 20-22%). Setelah fase grower, protein bisa diturunkan secara bertahap. Berbeda dengan ayam ras pedaging, ayam Kedu lebih cocok jika diberikan pakan tambahan berupa hijauan atau alternatif pakan lokal seperti maggot BSF untuk menunjang kesehatan pencernaan alaminya.
Program vaksinasi adalah wajib. Vaksinasi ND (Newcastle Disease) dan Gumboro harus diberikan sesuai jadwal. Karena ayam Kedu sering dipelihara dalam sistem yang lebih tradisional atau semi-intensif, pengawasan terhadap tanda-tanda penyakit seperti lesu, diare, atau kesulitan bernapas harus dilakukan setiap hari. Karantina ayam yang sakit sebelum menyebar ke seluruh populasi sangat dianjurkan.
Nilai jual ayam Kedu sangat dipengaruhi oleh status kemurnian ras dan usianya. Kedu Cemani murni bisa dijual mahal saat masih remaja. Sementara itu, ayam Kedu yang dipelihara untuk diambil dagingnya umumnya dipanen pada usia 4-6 bulan. Pemasaran bisa ditujukan pada restoran spesialis makanan sehat atau pasar ekspor lokal yang menghargai produk ayam kampung berkualitas.
Salah satu tantangan utama dalam budidaya ayam Kedu adalah laju pertumbuhannya yang lambat dibandingkan ayam broiler. Hal ini menuntut peternak untuk lebih sabar dan siap menanggung biaya operasional (pakan) dalam jangka waktu yang lebih lama sebelum mencapai bobot panen yang ideal. Selain itu, menjaga kemurnian genetik memerlukan pemisahan yang ketat antara pejantan dan betina jika tujuannya adalah pembibitan, karena persilangan dengan ayam ras lain dapat menurunkan karakteristik unik ayam Kedu.
Budidaya ayam Kedu menawarkan potensi pasar yang stabil karena permintaan pasar terhadap daging ayam hitam yang dipercaya memiliki khasiat lebih tetap tinggi di Indonesia. Keberhasilan budidaya ini sangat bergantung pada pemilihan bibit yang benar, kebersihan lingkungan kandang yang terjaga secara konsisten, dan penerapan manajemen pakan yang tepat sesuai fase pertumbuhan. Dengan persiapan yang matang, ayam Kedu bisa menjadi investasi peternakan yang menguntungkan.