Dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan bahan pangan murah seringkali mendorong sebagian oknum produsen untuk mengambil jalan pintas yang sangat berbahaya. Salah satu isu kesehatan masyarakat yang kerap mencuat adalah peredaran daging tiren. Istilah ini merujuk pada daging hewan yang mati karena sakit, mengalami pembusukan, atau bahkan sengaja dibunuh dengan cara yang tidak higienis dan tidak sesuai prosedur penyembelihan hewan halal.
Secara harfiah, daging tiren berasal dari singkatan "mati kemarin" atau hewan yang sudah mati sebelum disembelih. Hewan yang mati karena penyakit seperti antraks, PMK (Penyakit Mulut dan Kuku), atau sebab alami lainnya, mengandung bakteri dan racun yang sangat berbahaya. Ketika daging tersebut diolah dan dijual kepada konsumen—seringkali dengan penyamaran warna agar terlihat segar melalui pewarna kimia—risiko kesehatan yang dihadapi sangatlah besar.
Produsen nakal seringkali memanfaatkan kondisi ini karena harga daging tiren jauh lebih murah dibandingkan daging segar. Untuk menutupi bau amis dan tampilan yang pucat atau kehitaman, mereka menggunakan bahan kimia seperti formalin atau pewarna tekstil. Konsumen awam yang kurang teliti dalam memilih, terutama di pasar tradisional atau pedagang pinggir jalan yang tidak jelas asal-usulnya, rentan menjadi korban.
Mengonsumsi daging tiren dapat memicu serangkaian masalah kesehatan serius. Pada tahap awal, gejala keracunan makanan seperti diare parah, muntah-muntah, demam tinggi, hingga sakit perut hebat mungkin terjadi. Ini disebabkan oleh bakteri seperti Salmonella, E. coli, atau Clostridium perfringens yang berkembang biak pesat pada kondisi daging yang sudah busuk.
Namun, ancaman jangka panjang jauh lebih mengkhawatirkan. Jika daging tersebut mengandung residu bahan pengawet kimia seperti boraks atau formalin, paparan kronis dapat merusak fungsi organ vital. Formalin, misalnya, adalah karsinogen (zat penyebab kanker) yang terbukti dapat memicu kanker pada saluran pencernaan. Jika hewan yang mati membawa penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia), risiko terjangkit penyakit seperti antraks menjadi nyata dan mengancam jiwa.
Meskipun produsen daging tiren semakin lihai dalam menyamarkannya, terdapat beberapa indikator yang bisa dijadikan panduan bagi konsumen cerdas. Pertama, perhatikan warna. Daging segar berwarna merah cerah alami. Daging yang dicurigai tiren seringkali memiliki warna merah kehitaman atau, sebaliknya, terlalu merah menyala akibat pewarna buatan.
Kedua, bau adalah indikator utama. Daging segar memiliki bau khas daging mentah yang segar, sementara daging tiren akan mengeluarkan bau amis atau bahkan bau bahan kimia yang menyengat. Jangan ragu untuk mencium aroma daging sebelum membelinya.
Ketiga, tekstur. Daging segar terasa padat dan kenyal saat disentuh; ketika ditekan, permukaannya akan kembali membal. Daging yang sudah terkontaminasi atau busuk cenderung lembek, berlendir, dan mudah hancur. Terakhir, pertimbangkan harga. Jika Anda menemukan tawaran daging segar dengan harga yang sangat jauh di bawah standar pasar, sebaiknya waspada. Harga yang terlalu murah hampir pasti mengindikasikan kualitas yang buruk atau berasal dari sumber yang meragukan. Selalu utamakan pembelian di tempat terpercaya yang memiliki sertifikasi kehalalan dan kesehatan pangan yang jelas. Kesehatan Anda jauh lebih berharga daripada penghematan sesaat.