Ilustrasi: Representasi peringatan akan hukuman ilahi.
Dalam catatan sejarah peradaban manusia, baik yang tertera dalam kitab-kitab suci maupun tradisi lisan, terdapat banyak kisah mengenai kaum-kaum yang terdahulu. Kisah-kisah ini, meski memiliki narasi yang berbeda, seringkali memiliki benang merah yang sama: penolakan terhadap ajaran kebenaran, kesombongan yang melampaui batas, dan penindasan terhadap sesama. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum yang diazab Allah.
Azab, dalam konteks teologis, bukanlah sekadar bencana alam biasa. Ia adalah konsekuensi langsung dari penyimpangan kolektif manusia dari jalan yang lurus. Sejarah mencatat bahwa Allah SWT selalu mengutus para rasul atau pemberi peringatan untuk membimbing kaum-Nya. Namun, ketika peringatan itu diabaikan secara masif dan kezaliman menjadi norma, maka turunlah ketetapan ilahi sebagai bentuk keadilan mutlak.
Dua contoh paling sering diangkat adalah Kaum 'Ad dan Kaum Tsamud. Kaum 'Ad adalah contoh nyata bagaimana kekuatan fisik dan kemakmuran materi dapat menyesatkan. Mereka membangun kota-kota megah, mengukir gunung menjadi rumah-rumah mewah, dan merasa diri mereka tidak akan pernah tumbang. Nabi Hud AS telah memperingatkan mereka tentang bahaya kesombongan dan penyembahan berhala, tetapi mereka menolak dengan angkuh, bahkan menantang untuk segera didatangkan azab yang dijanjikan. Hasilnya adalah angin kencang yang bertiup selama tujuh hari delapan malam, melenyapkan mereka dari muka bumi, hanya menyisakan puing-puing keangkuhan masa lalu.
Sementara itu, Kaum Tsamud, yang dianugerahi keahlian luar biasa dalam memahat batu, juga terjerumus dalam kesesatan setelah kedatangan Nabi Shalih AS. Mukjizat unta betina yang keluar dari batu tidak mampu melunakkan hati mereka yang keras. Kepercayaan mereka pada kekuatan tangan sendiri membuat mereka melakukan kekejaman terhadap unta tersebut. Hukuman yang mereka terima adalah gempa dahsyat yang menghancurkan mereka tanpa sisa.
Kisah kaum Nabi Luth, yang kini sering diidentikkan dengan kota Sodom dan Gomora, memberikan pelajaran penting mengenai kehancuran moralitas. Kaum ini tenggelam dalam perbuatan keji dan penyimpangan seksual yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara umat manusia. Mereka tidak hanya melakukan maksiat, tetapi juga menertawakan dan mengancam Nabi Luth AS ketika beliau menyerukan pertobatan. Azab yang menimpa mereka adalah perubahan total pada geografi tempat tinggal mereka, di mana Allah membalikkan daratan kota-kota mereka ke atas, menjadikannya lautan yang pahit dan penuh lumpur belerang.
Meskipun konteks geografis dan jenis azabnya berbeda-beda, inti dari hukuman ilahi ini adalah universal: **peringatan adalah rahmat, dan pengabaian peringatan adalah undangan kepada kehancuran.** Kisah kaum yang diazab Allah bukan bertujuan untuk menakut-nakuti semata, melainkan untuk memberikan perspektif bahwa kehidupan dunia ini fana, dan kesombongan terhadap Pencipta adalah jalan pintas menuju kebinasaan.
Setiap generasi memiliki tantangan dan bentuk penyimpangannya sendiri. Jika di masa lalu kaum itu diazab karena menyembah berhala atau kerusakan moral yang terang-terangan, di era modern, bentuk kesombongan bisa berupa materialisme berlebihan, pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, atau penolakan total terhadap petunjuk ilahi dengan dalih rasionalitas semata.
Oleh karena itu, mempelajari kisah-kisah ini adalah introspeksi diri. Kaum yang diazab Allah menjadi pengingat abadi bahwa kekuasaan, kekayaan, atau kecerdasan manusia hanyalah titipan. Ketika titipan tersebut disalahgunakan untuk menindas, merusak tatanan sosial, dan membangkang terhadap ketetapan Ilahi, maka janji akan pertanggungjawaban dan konsekuensi, dalam bentuk azab, pasti akan terwujud. Inilah cermin paling jelas bagi manusia agar senantiasa menjaga hati dan lisan mereka di jalan kebenaran.