Perjalanan sejarah kesehatan mental adalah narasi panjang yang penuh dengan penemuan-penemuan revolusioner. Salah satu tonggak terpenting dalam pengobatan gangguan suasana hati adalah penemuan antidepresan pertama. Sebelum adanya obat-obatan yang spesifik, penanganan depresi berat sering kali terbatas pada terapi berbasis bicara atau, dalam kasus ekstrem, intervensi fisik yang invasif.
Untuk memahami dampak penemuan ini, kita harus melihat kembali pertengahan abad ke-20. Pada masa itu, pemahaman tentang biokimia otak masih berkembang pesat, membuka pintu bagi peneliti untuk mengidentifikasi neurotransmiter—zat kimia pembawa pesan saraf—yang mungkin berperan dalam kondisi seperti depresi.
Representasi visual konsep penemuan obat psikiatri.
Secara historis, obat yang diakui sebagai antidepresan pertama adalah Iproniazid. Menariknya, obat ini tidak ditemukan melalui pencarian yang ditujukan untuk mengobati depresi. Iproniazid awalnya dikembangkan pada akhir tahun 1940-an sebagai obat untuk tuberkulosis (TBC). Penelitian menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek samping yang signifikan pada suasana hati pasien.
Pasien yang mengonsumsi Iproniazid untuk TBC melaporkan peningkatan suasana hati yang dramatis, bahkan sering kali mengalami euforia. Penemuan tak terduga ini segera menarik perhatian psikiater. Mereka mulai menyelidiki potensi Iproniazid sebagai pengobatan untuk depresi klinis. Hasilnya luar biasa; pasien yang sebelumnya resisten terhadap berbagai bentuk perawatan menunjukkan respons positif terhadap Iproniazid.
Iproniazid bekerja sebagai penghambat monoamine oksidase (MAOI). Monoamine oksidase adalah enzim yang memecah neurotransmiter penting seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin di otak. Dengan menghambat enzim ini, kadar neurotransmiter tersebut meningkat di celah sinaptik, yang diyakini membantu memperbaiki komunikasi saraf yang terganggu pada penderita depresi.
Meskipun Iproniazid terbukti efektif, penggunaannya memiliki tantangan signifikan. Sebagai MAOI, obat ini memerlukan pembatasan diet yang ketat (menghindari makanan kaya tiramin seperti keju tua dan anggur merah) karena risiko krisis hipertensi yang berbahaya. Karena keterbatasan dan potensi efek samping yang serius, penggunaan Iproniazid sebagai standar mulai menurun seiring dengan munculnya kelas obat baru yang lebih aman.
Penemuan Iproniazid menandai era farmakoterapi psikiatri. Ini membuktikan bahwa perubahan kimiawi di otak dapat memengaruhi suasana hati dan perilaku, membuka jalan bagi pengembangan antidepresan generasi berikutnya. Keberhasilan awal ini mendorong para ilmuwan untuk mencari senyawa lain yang menargetkan neurotransmiter yang sama atau berbeda.
Beberapa tahun setelah Iproniazid, dunia psikiatri menyaksikan kelahiran Imipramine, yang merupakan antidepresan trisiklik (TCA) pertama, yang menjadi pilihan utama selama bertahun-tahun sebelum munculnya SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) yang lebih dikenal saat ini. Namun, tanpa adanya keberanian untuk mencoba Iproniazid berdasarkan efek sampingnya yang tidak terduga, evolusi pengobatan depresi mungkin akan tertunda bertahun-tahun lamanya. Pengenalan obat-obatan kimia ini mengubah depresi dari kondisi yang dianggap sebagai kelemahan moral menjadi penyakit medis yang dapat diobati secara biologis. Ini adalah warisan abadi dari antidepresan pertama tersebut.