Obat antipiretik merupakan kelas senyawa farmakologis yang berfungsi menurunkan suhu tubuh yang meningkat akibat demam (pireksia). Demam sering kali merupakan respons adaptif tubuh terhadap infeksi atau inflamasi. Namun, demam yang berkepanjangan atau sangat tinggi dapat menimbulkan risiko dehidrasi, peningkatan kebutuhan metabolik, dan ketidaknyamanan signifikan pada subjek. Untuk memahami mekanisme kerja, efikasi, dan profil keamanan obat-obatan ini secara mendalam, pengujian praklinis menggunakan model hewan uji menjadi langkah krusial sebelum uji klinis pada manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi dan mendokumentasikan perubahan parameter suhu tubuh pada hewan uji setelah pemberian dosis tertentu dari agen antipiretik yang diuji.
Pemilihan model hewan uji, umumnya tikus atau kelinci, didasarkan pada kemiripan fisiologis respons termoregulasi mereka dengan manusia. Dalam konteks studi ini, hewan diinduksi demam menggunakan pirogen eksogen, seperti Lipopolisakarida (LPS), untuk mensimulasikan kondisi demam patologis. Data yang dikumpulkan, terutama kurva penurunan suhu terhadap waktu, akan menjadi dasar untuk penentuan dosis efektif minimum (MED) dan perbandingan potensi relatif obat baru dengan standar yang sudah ada di pasaran.
Hewan uji dibagi menjadi beberapa kelompok perlakuan: Kelompok Kontrol Negatif (tanpa demam, tanpa obat), Kelompok Kontrol Positif (dengan demam, tanpa obat), Kelompok Perlakuan A (dengan demam, diberikan obat X), dan Kelompok Perlakuan B (dengan demam, diberikan obat Y). Semua hewan diaklimatisasi selama seminggu sebelum perlakuan dimulai. Demam diinduksi pada waktu T=0 dengan injeksi intraperitoneal pirogen standar. Setelah suhu mencapai puncak stabil (biasanya 60-90 menit pasca-induksi), agen antipiretik diberikan secara oral atau subkutan sesuai protokol dosis yang telah ditetapkan.
Pengukuran suhu rektal dilakukan menggunakan termometer elektronik digital yang sensitif, dicatat secara berkala pada interval 30, 60, 120, 180, dan 240 menit setelah pemberian obat. Data suhu tersebut kemudian diolah untuk menghitung persentase penurunan suhu relatif terhadap suhu puncak demam awal. Aspek lain seperti perilaku hewan, asupan pakan, dan potensi efek samping akut juga dicatat secara kualitatif selama masa observasi.
Analisis data menunjukkan bahwa kedua obat antipiretik (Obat X dan Obat Y) berhasil menurunkan suhu tubuh hewan uji yang mengalami demam. Pada kelompok Obat X, penurunan suhu mulai signifikan terlihat pada menit ke-60 dan mencapai titik terendah pada menit ke-180, menunjukkan bahwa obat ini memiliki onset kerja yang relatif cepat. Dibandingkan dengan kelompok Kontrol Positif, perbedaan suhu rata-rata adalah signifikan secara statistik (p < 0.05).
Sementara itu, Obat Y menunjukkan kurva efikasi yang sedikit berbeda. Onsetnya mungkin sedikit lebih lambat, namun efek penurunan suhunya cenderung lebih stabil dan berkelanjutan hingga akhir periode pengamatan (240 menit). Hal ini mengindikasikan durasi kerja yang lebih panjang. Perbandingan potensi farmakologis menunjukkan bahwa dosis yang lebih rendah dari Obat X mungkin setara dengan dosis yang lebih tinggi dari Obat Y dalam mencapai reduksi suhu yang sama.
Selama studi, tidak ditemukan tanda-tanda toksisitas akut yang jelas pada hewan uji yang menerima dosis terapeutik dari kedua obat. Hewan tampak aktif dan tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam pola makan atau perilaku dibandingkan dengan kontrol sehat. Namun, studi lanjutan dengan dosis supraterapeutik sangat diperlukan untuk memetakan batas keamanan (indeks terapeutik) dari kandidat obat antipiretik ini. Kesimpulan sementara dari data suhu menunjukkan bahwa kedua agen tersebut efektif dan menjanjikan sebagai agen penurun panas.