Ilustrasi sederhana prosesi penanaman ari-ari.
Ari-ari, atau plasenta, adalah organ penting yang selama sembilan bulan berfungsi sebagai penghubung vital antara ibu dan janin di dalam kandungan. Setelah proses persalinan selesai, ari-ari yang telah selesai tugasnya seringkali diperlakukan secara khusus oleh banyak kebudayaan di seluruh dunia, salah satunya dengan cara dikubur. Ritual mengubur ari-ari bukan sekadar pembuangan limbah biologis; ini adalah praktik yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam.
Dalam banyak kepercayaan tradisional, ari-ari dianggap sebagai "saudara kembar" bayi, karena ia tumbuh dan berkembang bersama sang anak selama di rahim. Menguburnya dengan layak dipercaya dapat memastikan ikatan batiniah antara anak dan tempat kelahirannya tetap terjaga. Hal ini sering dikaitkan dengan harapan agar anak kelak tumbuh menjadi pribadi yang berakar kuat, tidak mudah terombang-ambing, dan selalu ingat akan asal-usulnya.
Berbagai budaya memiliki cara unik dalam melaksanakan tradisi ini. Di Indonesia sendiri, praktik mengubur ari-ari sangat umum, terutama di Jawa dan beberapa daerah lain. Prosesi ini seringkali dilakukan dalam suasana khidmat dan penuh doa.
Meskipun tata cara bisa bervariasi antar daerah, ada beberapa langkah umum yang sering dilakukan saat hendak mengubur ari-ari:
Perlu dicatat bahwa praktik mengubur ari-ari berbeda secara fundamental dengan praktik mengonsumsi plasenta (placentophagy) yang menjadi tren di beberapa kalangan modern. Mengonsumsi ari-ari sering diklaim memiliki manfaat kesehatan seperti mencegah depresi pascapersalinan. Namun, tradisi mengubur, yang merupakan warisan leluhur, lebih berfokus pada aspek spiritual, simbolis, dan penghormatan terhadap alam.
Apapun pilihan yang diambil, penting bagi orang tua untuk memahami makna di balik tindakan tersebut. Bagi mereka yang memilih tradisi leluhur, mengubur ari-ari adalah cara untuk menambatkan jiwa dan masa depan buah hati pada bumi tempat ia dilahirkan, sebuah janji untuk menghargai asal-usul dan lingkungan sekitarnya.