Bulan Ramadan adalah bulan suci yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia. Kewajiban melaksanakan ibadah puasa, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu lainnya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban ini mengandung hikmah spiritual dan kedisiplinan yang mendalam. Oleh karena itu, meninggalkan puasa Ramadan tanpa alasan syar'i yang dibenarkan (seperti sakit parah, bepergian jauh, hamil, menyusui, atau menstruasi) bukanlah perkara sepele dan memiliki konsekuensi serius dalam ajaran Islam.
Ilustrasi simbolis mengenai kewajiban puasa.
Ancaman Spiritual dan Dosa Besar
Dalam pandangan teologis Islam, meninggalkan puasa Ramadan dengan sengaja, tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, dikategorikan sebagai dosa besar (kabair). Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa meninggalkan satu hari puasa Ramadan tanpa keringanan akan digantikan dengan puasa setahun penuh, namun ini tidak akan menghapus dampak spiritual dari kelalaian di bulan yang mulia tersebut. Puasa adalah ibadah ritual yang memiliki nilai perlindungan diri dari perbuatan tercela. Ketika seorang Muslim sengaja meninggalkannya, ia merobek perisai spiritual yang seharusnya ia bangun.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sejauh mana sanksi di dunia bagi mereka yang tidak berpuasa. Namun, mayoritas sepakat bahwa ancaman terbesar terletak pada hari perhitungan (Kiamat). Meninggalkan puasa secara berturut-turut menunjukkan adanya kekosongan iman dan kurangnya penghormatan terhadap perintah Allah SWT. Dampak langsungnya adalah kehilangan rahmat, ampunan, dan pahala berlipat ganda yang dijanjikan khusus pada bulan Ramadan.
Kewajiban Mengganti (Qada) dan Fidyah
Bagi mereka yang meninggalkan puasa karena uzur syar'i—seperti yang disebutkan sebelumnya—kewajiban pertama adalah mengganti puasa tersebut di luar bulan Ramadan, yang dikenal sebagai puasa qada. Jika seseorang tidak dapat mengganti puasa qada tersebut karena kondisi permanen (misalnya, penyakit kronis yang tidak ada harapan sembuh), maka ia diwajibkan membayar fidyah. Fidyah adalah sejumlah makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Namun, bagi mereka yang sengaja meninggalkan puasa tanpa alasan, qada tetap menjadi kewajiban utama. Beberapa mazhab bahkan menyatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan puasa wajib bertaubat dengan sungguh-sungguh dan harus mengganti puasa tersebut, bahkan sebagian menambahkan hukuman tambahan berupa ta'zir dari pemimpin atau hakim syar'i, meskipun ini seringkali bersifat subjektif. Intinya, lubang yang diciptakan oleh absennya puasa tersebut harus ditambal, baik melalui qada maupun penyesalan mendalam.
Dampak Sosial dan Kehilangan Berkah
Puasa Ramadan bukan hanya urusan individu vertikal antara hamba dan Tuhannya, tetapi juga memiliki dimensi sosial horizontal. Ketika seseorang secara terang-terangan makan dan minum di siang hari selama Ramadan, hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan sosial dan menafikan semangat kolektif persaudaraan yang dibangun selama satu bulan penuh.
Secara spiritual, berkah utama Ramadan adalah pembersihan jiwa dan peningkatan ketakwaan (taqwa). Jika seseorang tidak ikut merasakan lapar dan dahaga, ia kehilangan pelajaran empati terhadap orang yang kurang beruntung dan terputus dari momentum pelatihan mental kolektif ini. Kehilangan berkah ini bisa berimplikasi pada kehidupan selanjutnya, di mana hati menjadi lebih keras dan jauh dari kebaikan. Oleh karena itu, ancaman terbesar dari tidak berpuasa bukanlah sekadar hukuman duniawi yang tampak, melainkan hilangnya kesempatan emas untuk meraih keridaan Ilahi dan peningkatan kualitas diri.
Kesimpulannya, sementara sanksi spesifik di dunia mungkin bervariasi antar mazhab, kesepakatan teologis menegaskan bahwa meninggalkan ibadah puasa Ramadan tanpa uzur yang sah adalah pelanggaran serius terhadap perintah agama. Konsekuensinya meliputi dosa besar, hilangnya rahmat Ramadan, serta kewajiban untuk mengganti (qada) dan bertaubat agar terhindar dari siksa yang lebih berat di akhirat.