Dalam banyak ajaran agama dan norma sosial, peran istri dalam rumah tangga sangat ditekankan, sering kali diiringi dengan tanggung jawab besar terhadap suami dan kelangsungan unit keluarga. Konsep "durhaka" merujuk pada pelanggaran berat terhadap norma-norma tersebut, yang melampaui perselisihan biasa. Kedurhakaan di sini mencakup pembangkangan yang disengaja, pengkhianatan terhadap janji suci pernikahan, serta tindakan yang merusak kehormatan dan hak suami.
Ajaran-ajaran menekankan bahwa ikatan pernikahan adalah sebuah perjanjian suci (mitsaqan ghalizha). Melanggar perjanjian ini dengan cara yang ekstrem—seperti kekufuran setelah beriman, atau pengkhianatan besar—dianggap sebagai dosa besar yang dapat membawa konsekuensi di akhirat.
Berbagai tradisi keagamaan memiliki narasi spesifik mengenai balasan bagi mereka yang melakukan dosa besar, termasuk istri yang dicap durhaka karena pelanggaran serius. Meskipun interpretasi detail bervariasi antar mazhab atau denominasi, benang merahnya adalah bahwa perbuatan buruk akan dibalas setimpal.
Beberapa tindakan yang sering kali diasosiasikan dengan kedurhakaan berat yang berujung pada ancaman siksa meliputi:
Dalam banyak narasi eskatologis, neraka digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan penderitaan fisik dan spiritual. Bagi mereka yang dianggap durhaka, siksaannya sering kali disesuaikan dengan jenis dosa yang mereka lakukan. Misalnya, lidah yang digunakan untuk berbohong atau menghina mungkin akan dibakar, dan hati yang dipenuhi kebencian akan merasakan panas yang tak terperikan.
Siksaan ini bukan hanya tentang rasa sakit fisik semata, tetapi juga penderitaan psikologis akibat keterpisahan total dari rahmat Ilahi. Seorang istri yang meninggalkan tugasnya dengan cara yang menzalimi suaminya mungkin dihadapkan pada bentuk siksaan yang mencerminkan kegagalannya dalam menjaga amanah rumah tangga.
Meskipun ancaman siksa itu ada, sebagian besar ajaran juga membuka pintu lebar-lebar bagi pintu taubat (pertobatan). Jika seorang istri menyadari kesalahannya, menyesalinya dengan sungguh-sungguh, dan berupaya memperbaiki hubungannya dengan suami (jika memungkinkan) serta memohon ampunan Tuhan, harapan untuk terhindar dari azab selalu terbuka. Ini menekankan bahwa agama lebih mengutamakan perbaikan perilaku daripada kepastian penghukuman abadi.
Penting untuk dicatat bahwa konsep kedurhakaan selalu berpasangan dengan kewajiban suami. Dalam konteks yang adil, siksa neraka tidak akan berlaku bagi istri yang hanya melaksanakan hak-haknya namun menghadapi kezaliman atau kelalaian dari pihak suami. Kedurhakaan harus didasarkan pada pelanggaran yang nyata dan terbukti melanggar prinsip-prinsip agama atau moralitas yang tinggi.
Oleh karena itu, hubungan pernikahan ideal adalah hubungan yang didasarkan pada mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang), di mana kedua belah pihak berjuang untuk menyenangkan Tuhan melalui cara mereka memperlakukan pasangan masing-masing. Kegagalan dalam amanah ini, terutama oleh pihak yang diberi tanggung jawab besar, membawa konsekuensi yang serius sebagaimana diisyaratkan dalam pembahasan eskatologis.
Mengakhiri pembahasan ini, fokus seharusnya diletakkan pada pencegahan dosa melalui pendidikan moral dan spiritual, serta penegakan nilai-nilai kesetiaan dan rasa hormat dalam institusi pernikahan.