Representasi visual pesawat tempur superioritas udara modern.
Dalam peta geopolitik kawasan Asia Tenggara yang semakin dinamis, kemampuan menjaga kedaulatan udara menjadi prioritas utama bagi Republik Indonesia. Alat utama yang menjalankan mandat ini adalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Menyadari perlunya modernisasi armada tempur untuk menghadapi ancaman kontemporer yang semakin canggih, isu mengenai pengadaan pesawat tempur generasi terbaru seperti Sukhoi Su-35 menjadi topik hangat yang menyita perhatian publik dan para pengamat pertahanan.
Su-35, yang diklasifikasikan sebagai pesawat tempur generasi 4++, menawarkan lompatan signifikan dibandingkan pesawat tempur yang saat ini menjadi tulang punggung kekuatan udara Indonesia. Kehadirannya dirancang untuk mengisi celah kemampuan (capability gap) antara pesawat tempur generasi sebelumnya dengan potensi ancaman dari negara-negara tetangga yang mulai mengadopsi platform yang lebih mutakhir. Keputusan strategis ini bukan hanya tentang kuantitas, tetapi lebih kepada peningkatan kualitas dan kemampuan superioritas udara.
Pesawat Su-35, yang merupakan evolusi mendalam dari keluarga Sukhoi Su-27 Flanker, membawa serangkaian peningkatan teknologi yang menjadikannya salah satu pesawat tempur paling lincah dan mematikan di kelasnya. Salah satu fitur paling menonjol adalah kemampuan manuvernya yang luar biasa, berkat adopsi sistem *Thrust Vectoring Control* (TVC) pada kedua mesin Saturn AL-41F1S. TVC memungkinkan pilot mengarahkan semburan gas buang mesin secara independen, memberikan kendali yaw, pitch, dan roll yang ekstrem bahkan pada kecepatan rendah atau sudut serang tinggi—hal yang sangat krusial dalam pertempuran jarak dekat (dogfight).
Dari segi avionik, Su-35 dilengkapi dengan radar Irbis-E PESA (Passive Electronically Scanned Array) yang memiliki jangkauan deteksi sangat jauh, mampu melacak puluhan target secara simultan. Kemampuan radar ini dipadukan dengan persenjataan modern, termasuk rudal udara-ke-udara jarak jauh dan menengah, yang memungkinkan TNI AU untuk mencegat atau menetralisir ancaman jauh sebelum mereka memasuki wilayah kedaulatan udara nasional. Kemampuan 'First Look, First Shoot, First Kill' adalah filosofi utama yang diusung platform ini.
Pengadaan Su-35 akan memberikan efek gentar (deterrent effect) yang signifikan di kawasan. Pesawat ini akan berperan sebagai aset utama dalam misi superioritas udara dan pertahanan wilayah teritorial. Dengan Su-35, TNI AU akan mampu menjalankan patroli udara yang lebih efektif di wilayah yang luas, termasuk zona maritim strategis seperti Selat Malaka dan Laut Natuna Utara. Integrasi Su-35 juga mendorong peningkatan interoperabilitas dengan aset pertahanan udara lainnya yang dimiliki Indonesia.
Selain aspek militer langsung, ada manfaat signifikan dalam aspek transfer teknologi dan pengembangan industri pertahanan nasional. Kemitraan dengan Rusia dalam pengadaan Sukhoi seringkali menyertakan klausul alih pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh PT PAL Indonesia atau PT Dirgantara Indonesia untuk mendukung perawatan jangka panjang dan potensi perakitan di masa depan. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan alutsista pertahanan.
Meskipun memiliki kapabilitas superior, implementasi Su-35 di TNI AU tidak lepas dari tantangan. Tantangan terbesar adalah kesiapan infrastruktur, mulai dari landasan pacu yang mampu menahan berat pesawat, fasilitas perawatan khusus untuk mesin dan avionik canggih, hingga kesiapan sumber daya manusia. Pilot dan teknisi harus menjalani pelatihan intensif yang memakan waktu untuk menguasai karakteristik terbang unik dari pesawat generasi 4++ ini. Selain itu, aspek pemeliharaan jangka panjang dan ketersediaan suku cadang dari negara produsen juga selalu menjadi pertimbangan strategis dalam setiap pengadaan alutsista kelas berat.