Anjuran Aqiqah dalam Islam: Bentuk Syukur dan Kasih Sayang

Ilustrasi Sederhana Kelahiran dan Syukur Gambar ikonik domba atau kambing melambangkan aqiqah, dengan ornamen bulan sabit dan bintang sebagai simbol Islam. Syukur

Kelahiran seorang anak merupakan anugerah terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap pasangan suami istri. Dalam Islam, menyambut kehadiran buah hati ini diiringi dengan berbagai bentuk rasa syukur, salah satunya adalah melalui ibadah sunnah muakkadah yang dikenal sebagai Aqiqah.

Aqiqah secara etimologis berarti memotong atau mencukur rambut bayi yang baru lahir. Namun, dalam konteks syariat, aqiqah merujuk pada penyembelihan hewan ternak sebagai bentuk rasa syukur atas karunia kelahiran seorang anak, sekaligus sebagai tebusan (fidyah) untuk menyelamatkan anak tersebut dari godaan setan di masa depan, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadis.

Hukum dan Kedudukan Aqiqah

Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Meskipun bukan wajib (fardhu), meninggalkannya jika mampu sangat disayangkan karena mengandung makna spiritual yang mendalam.

Dasar utama pelaksanaan aqiqah bersumber dari tuntunan Nabi Muhammad SAW. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menyembelih dua ekor kambing untuk cucu laki-lakinya, Hasan dan Husain, dan seekor untuk cucu perempuannya.

Pelaksanaan aqiqah ini mengandung beberapa hikmah utama:

Ketentuan Jumlah Hewan Aqiqah

Jumlah hewan yang disembelih dalam ibadah aqiqah ditetapkan berdasarkan jenis kelamin anak yang lahir:

  1. Untuk anak laki-laki: Disunnahkan menyembelih dua ekor kambing atau domba.
  2. Untuk anak perempuan: Disunnahkan menyembelih satu ekor kambing atau domba.

Para ulama menganjurkan agar hewan yang disembelih memenuhi syarat sebagaimana hewan kurban (sehat, tidak cacat, dan telah mencapai usia minimal yang ditentukan), meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai usia minimal yang lebih longgar untuk aqiqah dibandingkan kurban.

Waktu Pelaksanaan yang Dianjurkan

Waktu ideal untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh ini dianggap waktu yang paling utama karena menandai sempurnanya usia tujuh hari pertama sang bayi.

Jika karena kendala tertentu (misalnya kesulitan mencari hewan atau kondisi keuangan) pada hari ketujuh belum bisa dilaksanakan, sebagian ulama membolehkan penundaan hingga hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. Namun, yang paling utama adalah mengusahakannya pada hari ketujuh.

Pembagian Daging Hasil Aqiqah

Pembagian daging hasil sembelihan aqiqah memiliki aturan tertentu yang membedakannya dari sekadar bersedekah biasa. Daging tersebut sebaiknya dibagi menjadi tiga bagian utama:

  1. Sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
  2. Sepertiga untuk dihadiahkan kepada tetangga, kerabat, dan teman.
  3. Sepertiga untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga yang mengadakan aqiqah.

Sebagian ulama bahkan menyarankan agar daging hasil aqiqah dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan, sebagai bentuk jamuan sosial. Namun, membagikannya dalam keadaan mentah juga diperbolehkan asalkan niat sedekahnya terpenuhi.

Pelaksanaan aqiqah bukan sekadar ritual seremonial, melainkan manifestasi nyata dari tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak di atas fitrah Islam dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Dengan menunaikan anjuran ini, diharapkan anak yang lahir membawa berkah dan tumbuh menjadi generasi yang saleh.

🏠 Homepage