Ilustrasi simbolis kehancuran akibat kesombongan.
Kisah-kisah para nabi dalam tradisi keagamaan selalu membawa muatan moral dan peringatan keras. Salah satunya adalah kisah yang berkaitan dengan Nabi Idris, seorang nabi yang diangkat Allah SWT ke langit. Meskipun detail historis mengenai azab spesifik yang menimpa kaum Nabi Idris kadang bervariasi dalam berbagai riwayat, inti ceritanya selalu menyoroti bahaya kesombongan, penolakan terhadap kebenaran, dan konsekuensi ilahi yang tak terelakkan.
Nabi Idris diutus untuk membimbing kaumnya yang hidup dalam kemakmuran namun telah menyimpang dari jalan tauhid. Seperti banyak nabi sebelumnya, Idris AS berdakwah dengan penuh kesabaran, mengajak mereka kembali menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan berhala atau kezaliman yang mereka lakukan. Namun, mayoritas kaumnya menolak seruan ini.
Penolakan ini bukan hanya sekadar ketidaksetujuan biasa; ia sering kali disertai dengan kesombongan yang luar biasa. Kaum tersebut, merasa kuat, kaya, atau cerdas, meremehkan peringatan seorang nabi. Mereka mungkin menantang kuasa Allah dan merasa bahwa kemakmuran duniawi mereka adalah bukti bahwa mereka berada di jalan yang benar, mengabaikan seruan spiritual yang dibawa oleh Idris.
Dalam beberapa narasi, kesombongan kaum Nabi Idris mencapai puncaknya ketika mereka menolak untuk percaya bahwa azab dapat menimpa mereka yang hidup nyaman. Mereka mungkin membangun bangunan-bangunan tinggi—simbol kekuatan dan keangkuhan mereka—sebagai bentuk pembangkangan terselubung terhadap kuasa Ilahi yang tidak dapat dijangkau oleh struktur fisik buatan manusia.
Ketika dakwah terus ditolak dan kemaksiatan merajalela, janji azab yang diperingatkan oleh Nabi Idris mulai nyata. Dalam konteks azab yang sering dikaitkan dengan Nabi Idris, fokusnya adalah pada penghakiman yang datang dari dimensi yang lebih tinggi, seringkali dihubungkan dengan udara atau langit.
Salah satu interpretasi mengenai azab yang menimpa kaum yang menolak Nabi Idris adalah berupa kekeringan panjang atau kondisi atmosfer yang ekstrem. Ketika mereka sudah sangat angkuh dan membangun struktur untuk mencapai ketinggian (sebagai bentuk tantangan), Allah mendatangkan hukuman yang menunjukkan batas kekuatan mereka.
Dalam beberapa riwayat tafsir, azab tersebut digambarkan sebagai kegagalan atmosfer. Udara yang seharusnya menopang kehidupan mereka tiba-tiba menjadi panas menyengat, sulit bernapas, atau bahkan udara itu sendiri yang menjadi bagian dari hukuman. Ini adalah ironi yang pedih: mereka yang menolak kebenaran yang datang dari atas, akhirnya dihukum oleh unsur yang mereka anggap remeh dan sombongkan.
Azab ini bersifat total dan menyeluruh, ditujukan untuk membasmi kesombongan yang telah mengakar kuat dalam jiwa mereka. Mereka yang menolak mengakui kebesaran Allah, akhirnya dipaksa mengakui kelemahan mereka di hadapan kekuatan-Nya yang tak terbatas.
Kisah azab kaum Nabi Idris berfungsi sebagai peringatan abadi. Ia mengajarkan bahwa kemajuan material, kekayaan, atau keangkuhan intelektual tidak akan melindungi seseorang dari pertanggungjawaban di hadapan Tuhan jika hati telah tertutup oleh kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran. Pembangunan fisik yang megah atau kekuasaan duniawi akan runtuh seketika ketika hukum ilahi ditegakkan.
Nabi Idris sendiri selamat, diangkat oleh Allah, menunjukkan bahwa kesetiaan dan ketaatan akan selalu mendapatkan perlindungan, bahkan ketika lingkungannya dilanda kemurkaan ilahi. Kaumnya yang menolak untuk merendahkan hati dan mengakui kesalahan mereka, harus menanggung konsekuensi dari pilihan mereka sendiri. Azab yang menimpa mereka adalah bukti nyata bahwa meskipun manusia mampu mencapai banyak hal di dunia, ada batasan yang hanya dapat dilewati oleh kehendak Sang Pencipta.
Oleh karena itu, pelajaran terbesar dari azab kaum Nabi Idris adalah pentingnya kerendahan hati dan kesediaan untuk menerima petunjuk, sebelum terlambat dan murka Ilahi turun sebagai penutup kisah keangkuhan.