Bulan Ramadhan adalah madrasah akbar bagi umat Islam. Di dalamnya, kita dididik untuk menahan hawa nafsu, meningkatkan ibadah, dan memperbanyak amal kebajikan. Namun, di samping kemuliaan pahala yang dijanjikan, momentum suci ini juga menjadi pengingat kuat akan kefanaan dunia dan keniscayaan akan pertanggungjawaban di alam kubur, atau yang biasa kita kenal sebagai azab kubur.
Mengaitkan azab kubur dengan Ramadhan bukanlah upaya menakut-nakuti, melainkan sebuah strategi spiritual. Ketika seseorang sedang berusaha keras menahan lapar dan dahaga demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, ia sedang melatih jiwanya untuk siap menghadapi ujian yang lebih besar: transisi dari kehidupan dunia menuju kehidupan barzakh.
Ramadhan secara inheren menuntut disiplin diri yang tinggi. Puasa mengajarkan kesabaran, shalat Tarawih memperpanjang waktu munajat, dan malam Lailatul Qadar mendorong kita untuk menghidupkan malam. Semua amalan ini sejatinya adalah persiapan menghadapi ketidakpastian hari esok, termasuk ketidakpastian kondisi kita di dalam liang lahat.
Para ulama sering mengingatkan bahwa amal yang kita lakukan di bulan Ramadhan akan menjadi penerang kubur. Sebaliknya, kelalaian dan kesia-siaan selama bulan mulia ini, meskipun puasa fisik terpenuhi, dapat menjadi penyesalan yang mendalam saat amal telah tertutup pintu penerimaannya.
Azab kubur bukanlah sekadar dongeng, melainkan keyakinan pokok dalam akidah Islam. Nabi Muhammad SAW sering memohon perlindungan dari siksa kubur dalam setiap shalatnya. Mengingat azab ini di tengah suasana Ramadhan berfungsi ganda:
Meskipun azab kubur adalah konsekuensi dari semua perbuatan buruk selama hidup, ada beberapa kelalaian yang dampaknya terasa lebih berat jika dilakukan saat bulan puasa. Ramadhan adalah bulan rahmat, namun di saat yang sama, ia adalah bulan dimana pintu-pintu langit terbuka dan setan dibelenggu. Oleh karena itu, melakukan kemaksiatan di bulan ini dianggap lebih memberatkan.
Contohnya, mengabaikan shalat berjamaah atau sengaja berbuka puasa tanpa alasan syar’i. Bagi orang yang lalai, siksa kubur yang menanti mungkin terasa lebih pedih karena ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah Allah sediakan. Kita diperintahkan menahan makan dan minum, namun jika hati dan lisan masih dipenuhi ghibah (bergosip) dan kedengkian, maka puasa kita hanyalah ritual kosong yang tidak memberikan benteng dari siksa kubur.
Bayangkanlah ketika kita masuk ke liang lahat, di sana tidak ada lagi hidangan sahur atau iftar yang bisa kita nikmati. Hanya amal kita yang menemani. Jika selama Ramadhan kita sibuk mencari hiburan duniawi ketimbang mencari keridhaan Ilahi, maka pertanyaan yang diajukan Malaikat akan terasa mencekik.
Kabar baiknya, Ramadhan adalah penawar segala penyakit spiritual. Jika kita serius memanfaatkannya, maka kita tidak hanya menghindari potensi azab kubur, tetapi juga meraih rahmat yang menjanjikan kemudahan di alam baka.
Beberapa amalan penangkal yang sangat ditekankan di bulan ini:
Kesimpulannya, Ramadhan adalah kesempatan emas untuk ‘berlatih mati’ dalam keadaan terbaik. Dengan menyadari ancaman azab kubur, seorang mukmin akan termotivasi untuk mengisi setiap detiknya dengan kebaikan, sehingga ketika panggilan terakhir tiba, ia telah mempersiapkan bekal terbaiknya, disinari oleh amalan yang dilipatgandakan di bulan yang penuh berkah ini.
Wallahu a'lam bish-shawab.