Dalam ikatan pernikahan, seharusnya tercipta harmoni, kasih sayang, dan saling menjaga. Namun, realitas pahit sering kali memperlihatkan sisi gelap ketika seorang suami memilih jalur kekerasan, pengabaian, atau kezaliman terhadap istrinya. Fenomena menyakiti istri ini bukan hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga membuka pintu bagi konsekuensi yang tak terduga, yang sering diyakini sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak di hadapan Tuhan: azab.
Secara spiritual, keyakinan yang menguat di banyak budaya adalah bahwa doa seorang istri yang terzalimi memiliki kekuatan luar biasa. Ketika seorang istri menahan sakit hati, air mata yang jatuh sering diyakini tidak pernah sia-sia di hadapan Yang Maha Kuasa. Ia adalah representasi dari kesabaran yang ditempa oleh ketidakadilan. Banyak kisah yang beredar, baik yang nyata maupun sebagai peringatan, menceritakan bagaimana nasib buruk menimpa suami yang dengan angkuh menindas pasangannya.
Kezaliman dalam rumah tangga bisa berbentuk fisik, psikologis, atau finansial. Suami yang gemar melontarkan kata-kata kasar, merendahkan martabat istri di depan umum, atau bahkan melarang istri mencari nafkah demi kemandirian, sesungguhnya sedang menanam benih kehancuran bagi kehidupannya sendiri. Kehancuran ini seringkali datang bukan dalam bentuk sambaran petir, melainkan melalui serangkaian kemalangan yang bertubi-tubi.
Konsep azab tidak selalu berarti hukuman instan yang kasat mata. Dalam konteks rumah tangga, azab seringkali termanifestasi dalam bentuk kegagalan yang berkelanjutan. Misalnya, kekayaan yang diperoleh secara tidak jujur atau dengan mengorbankan kesejahteraan istri bisa tiba-tiba lenyap. Bisnis yang tadinya lancar mendadak bangkrut tanpa sebab yang jelas. Ini adalah bentuk teguran bahwa keberkahan telah dicabut dari sumber penghasilannya.
Lebih menyakitkan lagi, azab bisa menyentuh aspek yang paling dijaga oleh seorang pria: keturunan dan penerus. Kegelisahan batin yang terus-menerus, ketidaknyamanan di rumah, hingga masalah kesehatan yang sulit dideteksi oleh medis, seringkali menjadi indikasi bahwa pondasi rumah tangga yang dibangun di atas penderitaan telah rapuh. Istri yang tertekan seringkali memancarkan energi negatif yang tanpa sadar ikut memengaruhi atmosfer rumah, termasuk anak-anak. Anak-anak menjadi cerminan dari atmosfer tersebut; mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur atau membawa aib di kemudian hari.
Menghadapi kenyataan bahwa tindakan menyakiti istri bisa mendatangkan azab seharusnya menjadi lonceng peringatan keras bagi setiap kepala rumah tangga. Pernikahan adalah amanah suci. Ketika amanah ini dikhianati dengan perlakuan buruk, maka cepat atau lambat, karma atau pertanggungjawaban ilahi akan menagih.
Introspeksi adalah langkah pertama. Seorang suami yang menyadari kesalahannya harus segera bertaubat dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar meminta maaf karena takut konsekuensi, tetapi karena menyadari kedalaman lukanya telah menyentuh aspek spiritual. Meminta maaf tulus kepada istri, memperbaiki perlakuan, dan mengembalikan hak-hak yang telah terampas adalah cara nyata untuk mencegah datangnya azab yang lebih besar.
Selain aspek spiritual, dampak dari perilaku zalim terhadap istri menciptakan luka psikologis yang sulit disembuhkan. Istri yang terus menerus merasa takut atau direndahkan akan kehilangan kepercayaan diri dan kemampuannya untuk menjadi mitra yang mendukung suami. Rumah yang seharusnya menjadi surga justru berubah menjadi medan perang dingin.
Kisah tentang azab suami menyakiti istri ini bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah pengingat universal bahwa keadilan, meski lambat, pasti akan tiba. Rasa hormat, kasih sayang, dan perlindungan adalah hak istri yang harus dijunjung tinggi, karena di balik setiap istri yang sabar, terdapat kekuatan doa yang mampu mengubah takdir, baik menjadi berkah tak terhingga maupun menjadi hukuman setimpal atas kezaliman yang diperbuat. Memperlakukan istri dengan baik adalah investasi terbaik untuk ketenangan hidup dunia dan akhirat.