Ilustrasi Perbandingan Budaya dalam Karya Margaret Mead
Margaret Mead adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam antropologi abad ke-20. Karyanya mengubah cara pandang masyarakat Barat terhadap konsep-konsep universal seperti gender, perkembangan remaja, dan seksualitas. Lahir di Amerika Serikat, Mead dikenal karena pendekatannya yang menekankan relativisme budaya—gagasan bahwa perilaku dan nilai-nilai harus dipahami dalam konteks budaya tempat mereka berkembang. Fokus utama dari teori Margaret Mead sering kali berkisar pada sejauh mana sifat manusia dibentuk oleh lingkungan budaya versus biologi.
Melalui penelitian lapangan yang intensif, terutama di kepulauan Pasifik Selatan, Mead membawa wawasan mendalam mengenai keragaman praktik sosial manusia. Ia menantang asumsi-asumsi etnosentris yang lazim pada masanya, khususnya yang berkaitan dengan masa remaja dan peran seksual.
Karya paling terkenal Mead, Coming of Age in Samoa, menjadi titik balik dalam studi perkembangan manusia. Mead menghabiskan waktu mempelajari gadis-gadis remaja di Samoa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masa remaja di Samoa jauh lebih mulus dan tidak ditandai oleh konflik psikologis hebat yang sering terlihat pada remaja Barat.
Menurut Mead, kesulitan yang dialami remaja di Amerika (seperti pemberontakan dan kebingungan identitas) bukanlah hasil dari proses biologis universal, melainkan produk spesifik dari tekanan budaya Barat yang kompleks dan kontradiktif. Di Samoa, transisi dari kanak-kanak ke dewasa berjalan bertahap, dengan harapan sosial yang jelas dan penerimaan yang lebih besar terhadap seksualitas sebagai bagian alami dari perkembangan sosial. Ini secara langsung menentang pandangan psikoseksual yang dominan saat itu, yang menghubungkan pubertas dengan neurosis.
Selain studi tentang remaja, teori Margaret Mead juga sangat menonjol dalam analisisnya mengenai peran gender. Dalam karyanya yang lebih lanjut, seperti Sex and Temperament in Three Primitive Societies, Mead membandingkan tiga suku: Arapesh, Mundugumor, dan Tchambuli di Papua Nugini.
Di suku Arapesh, baik pria maupun wanita menunjukkan temperamen yang oleh standar Barat dianggap "feminin"—yaitu pengasuh, penuh kasih sayang, dan kooperatif. Sebaliknya, di suku Mundugumor, kedua jenis kelamin menunjukkan sifat yang dianggap "maskulin" atau agresif; mereka kompetitif dan kurang memiliki dorongan pengasuhan.
Temuan yang paling mengejutkan datang dari Tchambuli, di mana peran gender tampak terbalik dari norma Barat. Wanita Tchambuli cenderung dominan, berorientasi pada bisnis, dan pragmatis, sementara pria lebih bergantung secara emosional, tertarik pada seni, dan cenderung lebih banyak bergosip atau bersolek.
Kesimpulan yang ditarik Mead dari perbandingan ini adalah bahwa perilaku yang dianggap "maskulin" atau "feminin" tidaklah inheren atau ditentukan secara biologis (bukan semata-mata sifat), melainkan sangat bergantung pada konstruksi sosial dan budaya (asuhan). Ini menguatkan argumen bahwa perbedaan perilaku seksual dan temperamen adalah hasil dari pembelajaran budaya.
Dampak teori Margaret Mead terhadap feminisme dan studi gender sangat besar. Ia menyediakan kerangka kerja untuk memahami fleksibilitas peran gender. Namun, karyanya juga menuai kritik signifikan, terutama dari antropolog generasi berikutnya.
Kritik utama sering menyoroti metodologi Mead, termasuk kemungkinan interpretasi yang terlalu romantis atau kurangnya pemahaman mendalam tentang struktur politik dan ekonomi masyarakat yang ia teliti. Misalnya, penelitian tentang Samoa kemudian dikritik karena dianggap meremehkan adanya tekanan sosial dan norma-norma ketat yang sebenarnya berlaku.
Meskipun demikian, kontribusi Mead dalam mempopulerkan antropologi dan menantang etnosentrisme tetap tak terbantahkan. Ia berhasil mendemonstrasikan kepada dunia bahwa ada banyak cara untuk menjadi manusia, dan bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai "kodrat" hanyalah kebiasaan yang dipelajari secara budaya.