Ilustrasi: Kekayaan yang diperoleh melalui riba membawa bayangan konsekuensi.
Dalam banyak ajaran moral dan agama, praktik memungut bunga atas pinjaman uang, yang dikenal sebagai riba atau rentenir, merupakan perbuatan yang sangat dilarang. Konsep ini tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi yang menciptakan kesenjangan, tetapi juga dari perspektif spiritual yang menjanjikan konsekuensi berat. Perbincangan mengenai azab orang yang membungakan uang seringkali menjadi pengingat keras tentang pentingnya keadilan dalam transaksi finansial.
Secara sederhana, riba adalah pertambahan nilai pada pokok pinjaman yang tidak sah atau tidak didasarkan pada hasil usaha nyata. Praktik ini seringkali memanfaatkan kesulitan orang lain. Seseorang yang meminjam uang karena kebutuhan mendesak terjerat dalam lingkaran utang yang terus membengkak, sementara pemberi pinjaman (rentenir) mendapatkan keuntungan tanpa bekerja keras atau menanggung risiko usaha yang sebenarnya. Secara sosial, praktik ini merusak tatanan masyarakat karena mengumpulkan kekayaan pada segelintir orang dan menjerat mayoritas dalam kemiskinan struktural.
Banyak sumber teks suci menekankan bahwa mengambil riba sama seperti "memerangi Allah dan Rasul-Nya." Hal ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini dalam pandangan ilahiah. Dampak di dunia ini saja sudah terlihat jelas: kehancuran rumah tangga, perselisihan, dan ketidakstabilan ekonomi yang berkelanjutan.
Ketika membahas tentang azab, fokus utama seringkali beralih ke kehidupan setelah kematian. Dalam narasi keagamaan, azab bagi pelaku riba digambarkan sangat mengerikan. Mereka yang hidupnya didominasi oleh keuntungan haram dari bunga uang dianggap menimbun dosa besar. Kekayaan yang dikumpulkan melalui riba tidak akan memberikan manfaat di akhirat.
Salah satu gambaran yang sering disampaikan adalah bahwa kekayaan hasil riba akan menjadi beban berat. Harta tersebut tidak diberkahi, seringkali hilang dengan cara yang tidak terduga, atau bahkan menjadi sumber bencana bagi keluarga mereka sendiri. Bayangkan seseorang yang membangun istana dari uang bunga, namun di akhir hayatnya kekayaan itu menjadi penanda kehinaan spiritualnya.
Azab tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar di akhir zaman; ia bisa dimulai dari sekarang. Orang yang membungakan uang seringkali kehilangan ketenangan batin. Mereka hidup dalam kekhawatiran akan kehilangan harta, keraguan akan status halal penghasilan mereka, dan terisolasi dari hubungan sosial yang sehat karena didorong oleh keserakahan.
Kehidupan yang dibangun di atas praktik yang dilarang akan terasa hampa. Berbeda dengan keberkahan yang diperoleh dari usaha yang jujur, uang hasil riba tidak membawa ketentraman. Inilah bentuk azab yang lebih halus namun merusak: hilangnya rahmat dan berkah dalam setiap aspek kehidupan, baik kesehatan, rezeki yang tersisa, maupun hubungan dengan orang terdekat.
Memahami ancaman azab orang yang membungakan uang seharusnya mendorong introspeksi mendalam. Bagi mereka yang terlanjur terlibat, ini adalah panggilan untuk bertaubat dan mencari jalan keluar yang halal. Mengganti praktik riba dengan skema keuangan yang berbasis bagi hasil (mudharabah) atau jual beli yang adil (murabahah) adalah langkah nyata untuk membersihkan diri dan mencari ridha Tuhan.
Masyarakat perlu dididik mengenai bahaya sistem keuangan yang rentan terhadap eksploitasi. Ketika praktik riba diberantas, sistem ekonomi cenderung menjadi lebih stabil, inklusif, dan menumbuhkan keadilan sosial. Menghentikan praktik membungakan uang bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga kontribusi nyata bagi terciptanya masyarakat yang makmur dan bebas dari jeratan utang yang mencekik.
Kesimpulannya, ancaman azab bagi pelaku riba adalah peringatan universal tentang bahaya keserakahan yang tidak terkendali. Kekayaan yang didapat dengan cara menindas sesama akan selalu membawa kehancuran, baik di dunia yang fana maupun di kehidupan abadi yang hakiki. Azab orang yang membungakan uang adalah konsekuensi logis dari perbuatan yang melanggar prinsip keadilan fundamental.