Dalam interaksi sosial, baik tatap muka maupun melalui media digital, terdapat spektrum perilaku komunikasi yang luas. Salah satu spektrum yang paling sering menimbulkan friksi adalah ketika seseorang mulai melontarkan kata kata angkuh dan sombong. Sikap ini, yang sering kali disamarkan sebagai kepercayaan diri yang tinggi, sebenarnya adalah manifestasi dari kebutuhan untuk merasa superior di mata orang lain.
Mengapa seseorang memilih jalur komunikasi yang merendahkan? Psikologi sering menunjuk pada mekanisme pertahanan diri. Alih-alih membangun harga diri dari dalam, individu yang cenderung menampilkan kata kata angkuh dan sombong sering kali menutupi rasa tidak aman yang mendalam. Mereka merasa perlu untuk secara verbal 'menurunkan' pencapaian atau status orang lain agar posisi mereka terlihat lebih tinggi. Ini adalah permainan jumlah nol (zero-sum game) dalam relasi sosial.
Di platform media sosial, fenomena ini semakin diperparah oleh algoritma yang sering kali memprioritaskan konten yang provokatif. Ungkapan yang arogan atau meremehkan lebih mudah memicu responsābaik pujian dari pengikut setia maupun reaksi keras dari kritikus. Efek instan dari perhatian ini menjadi 'dopamin' yang membuat perilaku angkuh tersebut menjadi adiktif.
Manifestasi dari kata kata angkuh dan sombong sangat beragam. Ini bisa berupa penggunaan bahasa yang terlalu teknis tanpa tujuan edukasi, hanya untuk menunjukkan superioritas intelektual. Contohnya, "Tentu saja, orang awam mungkin kesulitan memahami konsep ini, tapi bagi kami..."
Dalam konteks pencapaian, kesombongan sering muncul dalam bentuk klaim yang berlebihan atau mengecilkan upaya orang lain. Misalnya, ketika seseorang dihadapkan pada keberhasilan rekan kerjanya, respons yang angkuh mungkin berupa, "Ah, itu hanya keberuntungan. Saya dulu sudah mencoba skema yang sama, tapi saya tahu batasannya lebih awal." Komentar seperti ini bukan hanya tidak suportif, tetapi juga bertujuan untuk menempatkan diri sebagai figur yang telah 'melampaui' fase yang sedang dicapai orang lain.
Meskipun mungkin memberikan kepuasan sesaat, mengandalkan kata kata angkuh dan sombong memiliki konsekuensi jangka panjang yang merusak. Pertama, hubungan interpersonal menjadi rapuh. Tidak ada yang ingin berdekatan dengan seseorang yang terus-menerus membuat mereka merasa kecil. Rekan kerja akan menghindari kolaborasi, sementara teman sejati akan menjaga jarak.
Kedua, kesombongan menghalangi pembelajaran. Ketika seseorang yakin bahwa dirinya sudah tahu segalanya, pintu untuk menerima masukan (feedback) tertutup rapat. Dalam dunia yang terus berubah, ketidakmampuan untuk belajar dari orang lain adalah resep pasti untuk stagnasi profesional dan personal.
Melawan dorongan untuk bersikap angkuh memerlukan kesadaran diri yang tinggi. Daripada fokus pada bagaimana membuat orang lain melihat betapa hebatnya kita, fokus seharusnya dialihkan pada nilai yang dapat kita berikan tanpa perlu menonjolkan diri secara agresif. Ini berarti mengubah narasi internal.
Gantilah klaim absolut dengan kerendahan hati. Alih-alih mengatakan, "Ini adalah cara terbaik," coba katakan, "Ini adalah cara yang berhasil bagi saya, mungkin bisa dipertimbangkan." Memuji pencapaian orang lain tanpa syarat adalah antidot paling kuat terhadap penyebaran kata kata angkuh dan sombong.
Pada akhirnya, kepercayaan diri sejati tidak perlu dibuktikan dengan menjatuhkan orang lain. Kepercayaan diri yang matang bersinar melalui kontribusi positif, kemampuan mendengar, dan pengakuan bahwa setiap individu membawa perspektif unik. Mengendalikan lidah dan keyboard dari jebakan kesombongan adalah langkah pertama menuju integritas karakter yang lebih dalam.
Penggunaan bahasa yang menghormati, bahkan ketika kita memiliki pengetahuan yang lebih banyak, adalah tanda kedewasaan sejati. Keagungan sejati terletak pada kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita semua berada dalam perjalanan belajar yang sama.